Sunday, August 28, 2016

Langit Penuh Kabel

 
 
Cerita Pendek: Untung Gautara

Langit pagi ini bersih membiru. Seharusnya mampu menyejukkan hatiku. Tapi pagi ini tidak. Karena tiba-tiba pikiran dan perasaanku terpaut pada kabel-kabel aliran listrik yang terpentang ke sana ke mari. Padahal bukan sekali ini aku melihatnya. Kabel-kabel itu kini kubenci sebagai oknum kesemrawutan langitku. Terlebih-lebih lagi manakala kulihat sekian layang-layang nyangkut tanpa bisa melepaskan diri. Alangkah kejamnya kabel-kabel itu.
Segera aku pulang. Sesampainya di rumah aku enggan masuk. Duduk sendirian di teras.
Kulihat melati yang kutanam bunganya telah mekar dan menebarkan wanginya. Angin dikipasi dedaunan menerpa tubuhku semilir. Serumpun bambu tali tumbuh di sebrang halaman rumahku seakan
berbisik-bisik melihat kemurunganku. Aku membatin, “Hai bambu, pastilah engkau tak tahu hasil dari bersepeda santaiku pagi ini. Ketahuilah bambu, aku merasa sebagai layang-layang. Ingin terbang tinggi menggapai harapan yang kugantung di langit tinggi. Tapi kabel-kabel itu. Kabel-kabel itu yang pating planteng ora karuan itu menjegalku. Hingga aku hidup di antara langit dan bumi. Hidup dalam penyiksaan. Dibakar mentari dan suatu ketika diguyur hujan. tak ada yang perduli.
Sejak pagi itu aku tak dapat lagi ikhlas menerima apa yang menimpa nasibku. Sejak pagi itu pula aku menderita kegelisahan hidup yang berkepanjangan. Terkadang dahiku ini terasa sangat panas karena suntuk berpikir tiada menentu. Oh mengapa yang kudambakan begitu susah kuraih? Mengapa yang tidak kuinginkan malah mengisi hidupku? Mengapa orang lain begitu mudahnya memiliki segala yang kuangankan? Rasa iriku terasa memuncak keubun-ubun. Aku ingin membunuh mereka! Mereka telah mengobarkan api kecemburuan di hati ini.
Sungguh! Aku ingin sekali membasmi kabel-kabel yang mengotori langitku. Tapi ibuku, kakakku bahkan adikku yang masih kecil ikut-ikutan melarangku. Mereka juga minta bantuan beberapa orang tetangga untuk mengikatku.
“Hei apa-apaan ini? Mengapa aku diikat? Kalian sudah gila! Lepaskan aku! Lepaskan!” pintaku seraya meronta-ronta sekuat tenaga. Tapi mereka tidak memperdulikan aku. Mereka malah menatapku dengan tatapan aneh. “Ibu lepaskan aku! Kakak lepaskan aku! Oh mengapa kalian tega berbuat seperti ini padaku? Apa dosaku? Apa?” Aku terus meronta-ronta hingga kehabisan tenaga, Orang-orang itu hanya bisa melihatku seakan-akan aku ini tontonan. Mereka menikmati penderitaanku sebagai hiburan. Setelah aku lunglai tiada berdaya, mereka pergi meninggalkan aku. Bangsat!
Aku disekap di kamar. Hanya adikku yang setia menemani. Sepasang mata beningnya selalu berkaca-kaca. Aku jadi ikut menangis. Ingin kupeluk dia. Tapi tangan dan kakiku terikat. “Adikku, salahkan aku jika ingin membasmi kabel-kabel itu? Salahkan aku jika ingin membasmi perintang cita-citaku?” tanyaku dengan perasaan sedih. Adikku diam saja. Dia memandangi diriku. Kemudian pergi meninggalkan aku. Aku maklum kalau dia tidak bisa menjawab pertanyaanku. Dia masih kecil.
Oh apalah artinya hidup ini. Aku seorang pengangguran yang tak berguna. Aku ingin bekerja. Tapi seribu surat lamaran yang aku ajukan tidak membuahkan hasil. Aku benci. Mengapa hidupku penuh dengan rintangan? Rintangan itu; kabel-kabel yang mengotori langit harapanku itu harus kubasmi. Harus. Sekarang kebulatan tekadku tak terperi lagi. Hingga tambang yang mengikat tubuhku kurasakan lepas dengan sendirinya. Tentu saja aku senang. Sambil tertawa aku berlari menuju ke perempatan jalan. Langit yang biru harus bersih dari kabel-kabel. Kucopoti kabel-kabel itu satu persatu. Orang-orang kudengar menjerit-jerit melarangku. Aku tidak perduli. Toh aku ini kebal stroom. Satu dua tiga kabel dapat kucopot. Tapi setiap kali aku berhasil mencopot satu kabel, dengan sendirinya terpasang lagi kabel yang baru. Lama-lama aku jadi jengkel. Dadaku bergemuruh marah. Dengan geram aku menjerit. Mengamuk membabi buta memukul siapa saja dan merusak apa saja. Akhirnya aku kelelahan dan terkulai tak sadarkan diri. Ketika terjaga, bajingan! Ternyata aku masih disekap di kamar dan terikat. Yang lebih sialan lagi, kini kurasakan bahwa langit yang penuh kabel itu ada di kepalaku. Malah kurasakan pula dihatiku. Oh jadi diriku ini…?
“Kalau kabel-kabel itu dicopot, arus listrik harus lewat mana? Malam akan gelap gulita tanpa lampu.”
“Biar!”
“Itu katamu. Tapi kata orang lain beda.!”
“Aku juga orang lain dari dirimu goblog!”
“Hanya kau yang tidak menyukai kabel-kabel itu!”
“Jadi aku korban tuduhan kalian ya?”
“Hidup adalah pengorbanan. Jika jadi korban berlapang dadalah. Sebab suatu saat gantian orang lain yang akan menjadi korbanmu. Zaman sekarang ini tak usah ragu-ragu untuk main sikut. Bangkaikan saja hati nuranimu!”
“Oh aku ingin jadi orang kaya yang berkedudukan tinggi. Aku ingin jadi orang kuat.”
“Bangkaikan hati nuranimu!”
“Aku tidak bisa!”
“Kalau begitu percuma kau hidup. Bunuh diri sajalah!”
“Ya aku ingin bunuh diri! Percuma aku hidup.”
“Diamlah kak!” tiba-tiba kudengar suara adikku. “Kau bicara dengan siapa?” tanyanya seraya duduk dihadapanku. “Aku tidak percaya kakak gila. Aku tidak tega melihat kaka terikat begini.” lalu dia memotong tambang yang mengikat tubuhku pada balok pasungan. “Setelah kubebaskan, kakak jangan melakukan hal-hal yang memalukan lagi ya!”
“Memalukan? Apa maksudmu?”
“Itu kata ibu.”
“Memalukan bagaimana?”
“Aku kurang paham kak.”
“Terima-kasih.” ucapku setelah semua tali dipotong. “Sekarang aku bebas. Aku akan pergi!”
“Jangan kak! Nanti aku dimarahi ibu.”
“Aku pergi hanya sebentar.” jawabku seraya menghapus air mata adikku dengan ibu jari tanganku. Ada perasaan tidak tega meninggalkannya. Tapi aku harus pergi. Pergi ke alam bebas. Selamat tinggal adikku.
Kata orang aku ini gila. Hidup sesuka hati sendiri. Tanpa orang lain. Tempat tinggalku adalah tempat-tempat pelacuran. Pekerjaanku menyakiti orang yang menjadi korbanku. Jangan ditanya sudah berapa orang gadis menjdai korban kebiadabanku. Kutunjukkan pada dunia bahwa aku ini penjahat sejati. Penjahat yang lahir dari rahim kepedihan, kemiskinan dan kekecewaan hidup. Awas! Penderitaan manusia dapat melahirkan srigala berbulu domba yang sangat buas. Seperti diriku. Akulah raja kejahatan abad ini.
Dulu aku adalah mimpi yang dikhianati mimpi. Karena doa-doa yang aku panjatkan hilang tanpa krana. Walaupun aku menangis meneteskan air mata darah, belum juga kudapatkan pekerjaan. Aku disia-siakan. Aku diombang-ambingkan di lautan penantian kemudian dihempaskan di pantai kekecewaan. Segala keinginanku tak tergapai. Sampai bunuh diri pun selalu gagal. Mereka dengan kejamnya menistakan aku dalam kenelangsaan hidup. Aku marah! Aku dendam! Dan hanya dengan menjadi bajingan kemarahanku bisa terbalaskan.
Kupikir menjadi bajingan lebih mudah dari pada menjadi seorang santri. Tentu saja santri yang setia kepada Tuhan. Setia? Apakah kesetiaan dan penderitaan manusia masih mampu menggetarkan hati insan nuklir? Seperti halnya kemiskinan masihkah mampu mengiris-iris perasaan hingga trenyuh dan mengulurkan tangan? Kalau hanya trenyuh sesaat, tanpa uluran tangan penuh kasih saying apalah artinya. Bah!
Barangkali aku ini seorang sentimentil yang tersesat di rimba raya lalu terjerumus ke jurang yang nista. Tapi sejauh ini belum dapat kupastikan apakah aku telah berhasil membunuh hati nurani. Yang pasti aku telah berhasil menjadi seorang raja penjahat. Tentu saja sebelum sukses aku telah menjalani liku-liku hidup sebagai penjahat kelas teri. Siapakah kini yang tidak miris mendengar namaku disebut? Akulah orang gila yang di gembar-gemborkan tidak berperi kemanusiaan. Orang gila yang jagoan, pintar, dan licin seperti belut. Aku memang gila. Juga gila perempuan. Perempuan mana yang tidak senang berada dalam pelukanku seorang pemuda rupawan berharta dan punya kekuasaan?
Kini tengah kunanti seorang korbanku. Sejak aku pindah ke istanaku ini, baru seratus orang gadis cantik yang menemani malam-malamku. Anak buahku berjanji hari ini akan membawa seorang penyanyi cantik yang sedang naik daun. Hm! Gadis ini menolak tawaran baik-baik anak buahku. Kini dia diseret ke sini secara paksa. Seperti apakah dia?
Seruan salam terdengar. Lalu pintu dibuka dari luar. Seorang anak buahku mendorong gadis cantik hingga jatuh tersungkur. Lantas dia pergi. Gadis itu bangkit. Matanya bulat memerah saga. Tajam menatapku penuh dendam.
“Kau?” Tiba-tiba dia terperangah.
“Aku bajingan!”
“Anak buahmu dapat menculikku! Dan kini aku yakin aku lebih pandai dari polisi. Aku akan berhasil menangkapmu!” kata gadis itu tegas seraya berdiri.
“Kau bisa apa he?”
“Hm! Aku serba bisa!”
Rasanya aku ingin ketawa melihat kesombongan gadis ini. “He! Jangan berlagak di depanku!” kataku mengancam.
“Kau kira kau siapa? Aku tahu siapa kamu. Kau tak lebih dari seorang laki-laki kerdil! Pengecut! Kau laki-laki rapuh! Kau bukan laki-laki bahkan bukan manusia!”
Bajingan! Gadis ini sudah keterlaluan. Biar kutampar dia. Tapi tatapan gadis itu berubah lembut. Matanya berkaca-kaca. Hei mengapa aku jadi lemah begini? Heran.
“Bertahun-tahun aku mencarimu. Bertahun-tahun aku dilanda kecemasan akan keselamatanmu. Kini aku menemukanmu…”
“Hei apa yang kau katakan?”
“Yang aku katakan adalah kenyataan. Bukan fantasi atau khayalan. Masih belum ingatkah kau?”
“Bicaramu semakin ngelantur! Kau gadis gila!”
“Dulu aku tidak percaya kau gila. Tapi kini aku percaya kau memang gila. Aku tidak akan melepaskanmu lagi. Kau memang pantas dipasung!”
“Hentikan omonganmu!”
“Dengarlah! Aku sudah membersihkan kabel-kabel dari langitmu. Aku sudah sarjana. Akupun telah berhasil menjadi seorang penyanyi. Aku punya rumah, mobil, sawah, dan kebun. Kau yang menginginkan aku berhasil seperti ini. Cita-citamu tercapai. Doamu dikabulkan. Langitmu kini biru bersih tanpa kabel.
“Kau?”
“Ya akulah adikmu.”
“Kau?”
“Jangan ragu-ragu tersenyumlah! Berbanggalah! Semua ini kupersembahkan untukmu! Kau pantas menikmati keberhasilanmu membimbing seorang adik. Kasih sayangmu kepadaku tidak sia-sia.”
“Oh…”
“Adikku?”
“Kakak! Kakaaaak! Kakaaaak!”
Keesokan harinya aku dilepas dari pasungan. Terlepas pula khayalku. Kutinggalkan tubuhku yang kurus kering itu. Aku terbang ke alam lain. Sebelum jauh aku melihat ke bawah. Kulihat ibu, kakak, dan adik kecilku menangis. Semua yang hadir menangisi kepergianku. Padahal kini aku gembira dapat terbang dan hinggap dari satu kabel ke kabel yang lainnya menuju langit menggapai harapan.

*&*
Indramayu, 6 Maret 1996
 

No comments:

Post a Comment