Sunday, August 7, 2016

CERITA PENDEK PILIHAN Dr. UNTUNG GAUTARA.



Assalamualaikum warrohamatullahi wabarokatuhu,
Selamat pagi sobat bloger, insya Allah pada pagi ini admin akan menambahkan koleksi cerpen dari Dr. Untung Gautara. cerita yang sangat seru. berkisah tentang seorang kepala sekolah yang berkonfrontasi dengan bawahanya. bloger sudah tidak sabar untuk membaca tentunya, selamat menyimak.





PASRAH SAJALAH
Cerita Pendek: Untung Gautara
“Guru, digugu dan ditiru. Digugu itu petuahnya diyakini kebenarannya, hingga kalau petuahnya dilaksanakan itu dijamin tidak menyalahi agama, hukum negara, juga adat istiadat yang berlaku. Ditiru, ya ditauladani implementasi segala petuahnya itu dalam sikap kesehariannya. Seperti itulah guru. Jadi saya mohon bapak tidak sembarangan menerima orang yang melamar ke sekolah ini menjadi guru.” guru yang satu ini selalu menjelaskan alasan dia protes. Alasan yang dia kemukakan memang selalu masuk akal dan hati nuraniku mengiyakan kebenarannya. Tapi aku merasa gengsi untuk mengakui kebenaran itu.
“Yah itukan menurut pak Lucky.” akhirnya aku mengatakan kalimat yang didoktrinkan istriku bila aku berdebat dengan pak Lucky dan terpojok.“ kebenaran menurut saya yah tidak seperti itu yah.”
“Pak!”  sudah kuduga pak Lucky akan menyambar pembelaanku dan akan menyampaikan argumentasi-argumentasi yang membuatku puyeng. “Benar itu kebenaran menurutku. Tapi omonganku berdasarkan pendidikan yang aku terima selama sekolah, ditambah referensi buku-buku yang ditulis orang-orang besar di dunia pendidikan. Kebenaran ya kebenaran. Putih ya putih. Orang yang waras akan jelas melihat kebenaran atau warna putih. Kalau masih bingung dengan kebenaran agama kita punya Al-Qur’an juga Al-hadist. Negara kita punya undang-undang. Di situ semua jelas kebenaran ya kebenaran. Tidak samar dan tidak kabur. Terlepas dari semua itu Tuhan menganugerahi kita hati nurani untuk mengatakan kebenaran. Kalau gurunya saja bingung apa itu kebenaran, bagaimana dia mengajarkan kebimbangan tentang kebenaran?”
“Maaf pak Lucky yah, kan guru yang diterima bisa belajar yah.”
“Benar. Tapi kalau belajarnya dari nol besar terima saja dia jadi murid! Apa bapak tidak tahu murid-murid kita mengeluhkan tentang kualitas guru-guru di sekolah ini? Dari lima guru produktif hanya satu yang menguasai materi. Yang lainnya disebut oleh murid-murid sebagai guru plonger. Guru yang kalau ditanya oleh muridnya selalu menjawab tidak tahu.”
“Anak-anak harus maklum yah sekolah kita baru merintis yah.”
“Pak, bukan masalah masih merintis atau sudah maju. Masalahnya bapak menggampangkan masalah dan tidak mau sedikit cape. Sebenarnya kita bisa mencari guru yang berkualitas itu! Kita bisa bertanggungjawab pada amanah kita sebagai guru untuk mendidik generasi kita secara maksimal sesuai dengan kemampuan kita.”
“Yah kemampuan saya cuma segini.”
Astaghfirullah haladzim… Bapak belum melangkah setapakpun, belum meng-interview calon guru sedikit pun sudah bilang kemampuan saya cuma segini?”
Pak Lucky permisi. Kulihat wajahnya memerah marah. Aku sendiri sudah teramat puyeng berbicara dengan dia. Dia terlalu rewel untuk berdebat denganku. Padahal aku kepala sekolah di sini yang mestinya jauh lebih rewel dari dia. Aku tuh tidak mau pusing, jadi ketika Rizky dan Trisno mohon untuk menerima saudara-saudaranya jadi guru honor di sekolah ini. Tanpa pikir panjang apalagi wawancara ini itu aku terima saja. Kalau kemudian mereka jadi guru plonger yah mau bagaimana lagi yah?
Pak Lucky itu selalu saja berupaya mencerdaskan, mendisiplinkan, dan meluruskan prilaku murid-murid SMK Negeri 1 Lontar. Dia itu paling rajin. Paling disiplin. Paling perhatian ke muriid-murid. Sehingga tak heran kalo sebagian besar murid dekat dengan dia. Pertama kali aku bertemu dengannya aku juga mengakui kharismanya. Aku juga dekat dengannya. Dia kuminta mengajariku pidato, memberi tahu cara meng-handle rapat, juga membantuku memutuskan masalah. Tapi lama-lama aku gerah dan tidak nyaman dengannya. Dari hatiku terdalam aku iri dengan sosoknya. Dia serba bisa. Hingga murid-murid dekat dengan dia. Guru-guru dekat dengan dia. Mereka mendengar kata-katanya. Aku kan kepala sekolah di sini. Mestinya murid dan guru dekatnya padaku. Bukan kepadanya.
“Bapak kan kepala sekolah di sini. Jadi jangan dengarkan pak Lucky!”
“Benar pak. kami mendukung segala keputusan bapak. Kalau pak Lucky macam-macam kita ada bersama bapak. Sekolah ini tanpa pak Lucky tetap akan maju. Dia tak ada artinya apa-apa.”
Aku bersorak dalam hati. Aku yakin guru seperti pak Rizky dan pak Trisno yang cocok denganku. Guru yang tak kalah cerdas dengan pak Lucky tapi selalu manut padaku. Slalu membuatku senang. Tidak seperti pak Lucky yang suka protes dan lebih cenderung pro murid. Mana loyalitasnya kepada atasan?
Kami bertiga kemudian membuat rencana untuk memajukan SMK Negeri 1 Lontar. Kami bertiga sepakat untuk tahun pelajaran 2008-2009 akan menerima siswa baru delapan kelas atau 240 murid. Itu hebat! Fantastik! Di sisi lain banyak murid berarti banyak pula uang daftar ulang yang bisa kutilep dan kumasukan ke sakuku. Pak Rizky dan pak Trisno pastilah kuberi bagian. Kan mereka yang bekerja.
Guru-guru pada protes.
Murid-murid juga protes cuekin aja!
Pak Lucky tentu protes juga.
Kuanggap angin lalu. Aku sudah tidak pakai dia!
Tapi kurang ajar! Pak Lucky mengirimkan angket guru-guru dan murid-murid ke pengawas. Mereka mengadukan dedikasi kepemimpinanku hingga aku dimarahi pengawas. Aku panggil pak Lucky ke kantor.
“Yah Pak Lucky, saya dimarahi pengawas.” kataku cemas. Tak bisa menyembunyikan ketakutanku. Aku takut didemo masyarakat atau dipindahkan tanpa hormat. “Masalah Prakerin kan yah ada panitianya. Kalau tahun ini berantakan kan bisa diperbaiki tahun depan. Tentang penerimaan siswa baru itu kan yah keputusan dinas. Pak Lucky jahat sekali.”
“Tentang Prakerin, saya sudah mengingatkan bapak jangan sembarangan mempercayakan kepanitiaan kepada orang yang pinter ngomong tapi tidak becus bekerja. Mereka ambisi jadi panitia dengan satu tujuan uang. Tapi bapak maksa ya jadinya begini. Kemudian perihal saya melaporkan bapak ke pengawas itu karena antara bapak dengan saya, guru-guru, dan murid-murid sudah tidak bisa berkomunikasi lagi. Omongan kami sudah tak didengar bapak lagi. Sementara kami ketakutan dengan rencana penerimaan siswa baru. Prediksi kami, kalau rencana itu terealisasi, sekolah ini akan hancur!”
“Itu keputusan dinas.”
“Pak kalau mau menipu atau sekedar bohong, mungkin bisa ke murid atau guru-guru yang masih hijau. Mana ada dinas maksa begitu. Apalagi di kecamatan ini baru didirikan SMA. Bagi-bagi murid kenapa biar sama-sama maju. Dinas pasti dukung itu. Kita memang ingin maju. Tapi maju itu pakai otak. Jangan kuantitas diutamakan. Utamakan dulu kualitas. Apakah sekolah kita sudah berkualitas? Selama ini belajar mengajar keteteran. Karena guru-gurunya malas menyebabkan anak-anak baru masuk kelas jam delapan. Jam Sembilan sudah mulai pulang dan jam sebelas sekolah sudah sepi. Sekolah berantakan.”
“Itu karena pak Lucky mengundurkan diri jadi Wakasek Kesiswaan.”
“Kok jadi saya yang salah? Saya mengundurkan diri karena bapak sudah tidak mau kooperatif lagi dengan saya. Buktinya ketika saya mengundurkan diri bapak langusng merespon dan mengiyakan dengan sms.”
“Yah pakai sms atau apa saja kan sama.”
“Oh etikanya begitu ya pak? Tidak usah ditanyakan sebab musababnya? Tidak diajak ngomong baik-baik dulu begitu? Masalah penting cukup diputuskan lewat sms.”
“Yah iya gampang. Kan teknologi sudah maju yah. Yah sekarang saya mah pasrah sajalah.”
“Kok pasrah?”
“Yah mau bagaimana lagi yah?”
“Saya melaporkan bapak ke pengawas, lebih tepatnya minta tolong ke pengawas dengan maksud untuk perbaikan sekolah ini. Harapan saya kalau pengawas yang ngomong bapak menghargai. Eh bapak malah bilang pasrah? Heran, kok pasrah? Yang mesti bapak segera lakukan adalah memperbaiki sekolah ini. Terutama pada kedisiplinan guru dan siswa. Terutama lagi buat kelima wakasek bapak itu agar rajin mengajar. Guru-guru honor menjadi malas karena terpengaruh oleh kelima wakasek bapak yang males itu. Insyaallah saya bisa bantu! Kalau bapak melakukan perbaikan, pasti pengawas tidak akan marah.”
Kupikir pendapat pak Lucky benar. Dan saya yakin maksudnya melapor ke pengawas bukan untuk mencelakakan aku tapi semata untuk perbaikan sekolah. Tapi ketika aku menceritakannya pada istriku, istriku memaksaku menemui koordinator pengawas di Mulyabarang. Di sana istriku menjelek-jelekkan pak Lucky. Dia mengatakan pak Lucky itu memang cerdas tapi malas dan sering lupa porsinya sebagai guru dan sok mengatur kepala sekolah. Aku tahu itu tidak benar. Yang benar adalah pak Lucky guru yang rajin dan selalu usul atau protes dengan menyertakan argumentasi-argumentasi yang masuk akal tapi membuatku puyeng. Kalau aku sudah sangat puyeng aku suka menilai negatif pak Lucky selalu memaksaku. Yah tapi istriku sudah bilang begitu. Saya mestti bagaimana?
Sesuai janji via telephone, Jum’at sore pak Lucky datang ke rumah. Dia bela-belain naik motor dari Lontar ke Dharmajaya kurang lebih pulang pergi 120 km untuk meng-clear-kan masalah. Aku iya-iya saja. Kata istriku cukup begitu saja. Pak Lucky kembali menjelaskan panjang lebar tentang usaha perbaikan sekolah terutama pada kedisiplinan murid dan guru. Aku iya-iya saja. Begitupun ketika pak Lucky minta maaf, aku iya-iya saja.
Sesuai janjinya,  hari Senin Koordinator Pengawas Haji Adung Warnudin datang. Pak Lucky sudah direkayasa oleh Pak Rizky agar tidak datang dengan tidak memberinya jadwal mengawas tes semester. Pada pertemuan itu Pak Haji Adung berjanji akan memutasikan guru males macam pak Lucky. Alhamdulillah tidak ada guru yang protes. Mereka takut.
Tapi pak Lucky kok tidak dimutasi ke lain sekolah ya? Padahal dia sudah dijelek-jelekan ke Koordinator Pengawas bahkan sudah dipanggil Kepala Seksi Kepegawaian Dikmenum Dinas Pendidikan Kabupaten Dharmajaya. Wah padahal aku sudah males berhadapan dengan dia. Dimutasikan tidak bisa. Terus diapain?”
“Jangan kasih jabatan apapun!” jawab istriku ketika ditanya olehku.
“Jadikan dia sampah hingga tak ada satupun alasan lagi berhubungan denganmu. Biar dia tahu rasa. Coba dia bisa apa? Sok pinter!”
“Jatuhkan mentalnya! Bunuh karakternya!” usul pak Sutrisno semangat.
“Kita teror dia dengan fitnah! Kita cari kelemahannya! Kita serang hingga mentalnya ambruk!” papar pak Rizky berapi-api.
Sebenarnya aku ngeri mendengar usul istriku, pak Rizky, dan pak Sutrisno. Menurutku itu jahat. Tidak selayaknya pak Lucky dijahati, karena sebenarnya di dasar lubuk hatiku aku mengakui kebenarannya. Cuma, bagaimana yah istriku dan kedua wakilku mengusulkan begitu. Jadinya ketika tahun ajaran baru kujadikan pak Lucky sampah. Teror untuk menjatuhkan mentalnya juga dilancarkan. Dia kufitnah korupsi uang koperasi dan uang pembangunan mushola. Fitnahnya kuumumkan ke murid-murid, guru-guru, dan para pengawas. Dia juga kupaksa mengikuti rapat sekolah karena setelah kusampahkan dia tidak pernah mengikuti rapat. Itu ususlan pak Rizky dan pak Sutrisno. Sebenarnya kami ingin menghinakan pak Lucky di acara rapat. Biar dia mati kutu.
“Bapak harus ikut rapat yah! Harus! Mereka protes!”
“Rapat? Memangnya saya masih anggota keluarga SMK Negeri 1 Lontar?”
“Lho?” aku bingung. Aku tidak menyangka pak Lucky akan berbalik tanya seperti itu. Ngomong apa ya? Wah kenapa pak Rizky, pak Sutrisno, atau istriku tidak membekaliku jawaban untuk kemungkinan pertanyaan begini? “Ya masih yah.” jawabanku asal ketemu.
“Kalau masih jadi anggota keluarga SMK Negeri 1 Lontar, kenapa dipermalukan seperti sampah?”
“Saya tidak mempermalukan bapak seperti sampah.”
“Jawaban jadi wakil kepala sekolah tentu aku sendiri tidak berminat. Tapi jadi wali kelas saja tidak. Bahkan hak sebagai guru Bahasa Indonesia juga disepelekan. Kalau guru honor yang baru keluar dari kuliahnya itu tidak menolak, bukankah aku ditugaskan ngajar di kelas sebelas? Apa bapak tidak tahu murid-murid kita itu sangar. Banyak guru pemula menangis. Banyak guru pemula dipermainkan murid? Lalu bagaimana pertimbangan Bapak untuk ujian nasional? Bapak tuh memutuskan permasalahan asal geprak saja! Tidak pakai pikiran apa ya? Saya ngerti bapak ingin mempermalukan saya dihadapan guru dan murid.”
“Lho itukan yah karena perbuatan pak Lucky sendiri.”
“Perbuatan saya yang mana? Melaporkan Bapak ke pengawas? Bukannya saya sudah menjelaskan berkali-kali dan minta maaf berkali-kali? Bapak masih mendendam?”
“Untuk apa dendam? Cape yah. Saya tidak mau kejadian waktu ujian nasional terjadi lagi.”
“Oh karena kejadian itu. Sekrang saya tanya ke Bapak. Siapa yang mendobrak pintu lab komputer yang sementara dijadikan posko team sukses ujian nasional? Pak Rizky dan Pak Sutrisno. Siapa yang membocorkan jawaban ujian nasional kepada anak-anak? Mereka juga. Siapa yang berlagak preman? Siapa yang melarang saya hadir ke sekolah mensuport anak-anak agar tenang mengerjakan soal-soal ujian nasional dengan teror sms padaku? Mereka. Kenapa jadi saya yang dihukum? Lalu tentang fitnah bahwa saya korupsi uang koperasi dan uang pembangunan musholla, bagini saja, kalau bapak yakin dan punya bukti saya korupsi, laporkan saja ke polisi. Perlu bapak ketahui saya tidak takut karena saya tidak pernah korupsi. Saya tidak cari musuh tapi kalau musuh datang pasti saya hadapi. Satu lagi pak mohon diingat bahwa bapak sangat menyakiti hati saya. Semua ada balasannya. Tidak usah menunggu di akherat, azab dunia juga ada. Jangan lupa itu.”
Aduh ngeri sekali berurusan dengan polisi. Tapi tentu lebih ngeri azab dunia. Iya sih sebenarnya pak Lucky tidak salah. Tapi bagaimana ya kedua wakilku, juga istriku menyarankan aku begitu. Di sisi lain aku juga tidak suka pak Lucky karena dia selalu berargumentasi. Walaupun kuakui argumentasinya benar. Tapi aku jadi terpojok. Malu. Masa kepala sekolah dipermalukan  seperti ini? Kenapa sih selalu pro murid? Padahal kalau pro kepala sekolah dia akan banjir uang seperti para wakil kepala sekolah sekarang. Mereka asal manut tidak usah rajin ngajar juga tidak apa-apa. Makan gaji buta juga tidak masalah. Rasakan sekarang pak Lucky tidak dapat insentif apa-apa kecuali insentif jam wajib ngajarnya dia sebagai PNS. Emang enak melawan kepala sekolah?
Antara pak Lucky dengan saya sepertinya memang jauh berbeda. Bagi saya sih enjoy sajalah ngajar murid. Jangan serius cape. Karena menurut saya hidup tuh tidak usah cerdas. Buktinya saya yang tidak cerdas bisa jadi kepala sekolah.  Orang sih asal nurut dijamin karirnya lancar. Orang seperti pak Lucky mana bisa karirnya lancar. Kata istriku dan kedua wakilku, nanti kalau pak Lucky minta tanda tangan untuk kepentingan karirnya, aku harus menekan dia habis-habisan. Kalau perlu buat dia menghiba-hiba. Biar tahu rasa. Prebedaan lainnya, aku tidak perdulian, masa bodo, toh murid itu orang lain. Kalau sudah lulus lupa pada guru. Kemudian guru honor juga orang lain. Kenapa mesti perhatian sama guru honor? Kalau aku pindah tugas mereka pasti lupa. Kalau aku sudah enjoy dengan diriku sendiri kenapa mesti memenuhi keinginan orang lain?
Syukurlah sepertinya upaya membuatnya sampah dan teror untuk menjatuhkannya berhasil. Pak Lucky tidak terdengar lagi aktifitasnya. Dia hanya ngajar 24 jam pelajaran setelah itu pulang. Aku tidak lagi dipusingkan dengan segala argumentasinya. Dia ada tapi sepi dan lenyap begitu saja. Syukurlah. Tapi dia itu cerdas. Aktifis. Waduh jangan-jangan air tenang menghanyutkan. Akupun cari info. Dan legalah hatiku, informanku bilang pak Lucky sementara waktu ini tidak akan aktif di sekolah karena sedang sibuk mengurusi sanggar sastranya yang mau lounching buku kumpulan puisinya dengan kedua rekan penyairnya. Judul bukunya “Sebelum Terbang”. Katanya berisi tentang kritikan pada dunia politik dan dunia pendidikan.
Huh aku sih perduli amat dengan kualitas dunia pendidikan. Yang penting bagiku melaksanakan proyek pembangunan gedung-gedung baru dan mengaturnya seketat mungkin agar aku dapat keuntungan yang banyak. Terus ganti mobil dengan yang lebih bagus. Terus punya investasi tanah kapling yang banyak untuk menjamin hidupku sekeluarga di masa depan. Tapi ternyata kepalaku tak berhenti pusing. Hatiku tak berhenti sedih. Ayahku meninggal dunia. Padahal aku belum puas membahagiakannya. Belum hilang masa berkabung, anak pertamaku menabrak orang. Anakku tangannya patah dan motornya rusak berat. Yang ditabrak luka parah. Motornya juga ringsek. Pihak orang tua korban tabrakan menuntutku membiayai biaya pengobatan, ganti motor, dan tentunya yang sangat besar karena anaknya menjadi cacat. Kepalaku pusing sekali. Darimana aku mendapatkan uang sebesar itu. Sementara istriku rewelnya minta ampun. Dia minta agar aku segera memenuhi tuntutan orang tua pihak korban karena pihak korban mengancam akan memperkarakannya secara hukum perdata juga pidana. Sudah diberi uang enam juta masih kurang! Minta motornya diganti. Minta uang kompensasi cacat. Belum lagi uang untuk polisi. Aduh kepalaku rasanya mau pecah. Pusiiing!”
“Mas cepat mana uangnya? Kalau terlambat nanti anak kita dipenjara!” ya begitulah istriku selalu memaksa. Dihadapannya aku ini seperti robot. Dianggapnya tidak punya perasaan. Diatur-atur seenaknya sendiri. Makanya kalau disekolah aku anti diatur-atur guru. Oleh atasan juga aku mau nurut kalau di depannya saja. Tapi bagaimana ya biar istriku berhenti marah-marah? Uuuh inikah salah satu azab dunia. Punya istri penindas. “Mas pakai uang apa saja!”
“Uang kita sudah habis untuk nyogok promosimu jadi kepala sekolah SMP! Tujuh puluh juta rupiah dan ganti mobil baru! Apa mobil kita jual lagi?”
“Mas Suwandi ampun! Jangan bodoh! Bisa hilang gengsi kita! Pakai uang sekolah saja!”
“Itu berbahaya! Aku takut! Ini korupsi!”
“Kamu mau anak kita masuk penjara? Orang tua pihak korban itu bukan orang sembarangan! Cepat Mas!”
Apa boleh buat, untuk kesekian kalinya tilap-tilep, sulap-sulap ngembat uang sekolah. Gampang. Kayanya inilah bakatku. Kuharap aku tidak pusing lagi. Tapi baru saja aku memberikan uang itu pada istriku, aku dikirimi sms oleh seorang siswa yang mengancamku akan demo bersama teman-temannya bila sekolah tidak didisiplinkan. Baru saja selesai membaca sms itu, orang dinas menelpon. Katanya aku diminta datang ke kantor untuk dimintai pertanggungjawaban karena ada surat pengaduan dari orang tua wali murid bahwa SMK Negeri 1 Lontar menelantarkan siswa-siswinya. Aduh bagaimana ini? Aku takut sekali. Jangan-jangan aku dipecat atau dipindah tugasnya tanpa hormat. Biasanya kalau ada masalah aku nyogok agar dibela. Tapi aku lagi tidak punya uang. Aduh aduh aduh aku pasrah sajalah.

*&*
Pilang, Juli 2007

No comments:

Post a Comment