Tuesday, August 9, 2016

CLEOPATRA Cerpen Remaja By Untung Gautara

Assalamualaikum Wr. Wb.
selamat pagi sobat bloger, siapa yang tidak kenal dengan Cleopatra, sejarah kecantikan dari mesir kuno. namun pada pagi ni admin tidak membahas Cleopatra yang satu itu. berikut akan disajikan cerita pendek buah karya dari Dr. Untung Gautara, jangan sampe ketinggalan ya, pantau terus Galeri Karya SMK Penha yang selalu "bicara dengan karya".


CLEOPATRA
Cerita Pendek: Untung Gautara

T
idak pernah kubayangkan aku akan menjadi Cleopatra. Mungkinkah karena badanku yang sexy? Ataukah karena kecantikan wajahku? Sungguh ajaib! Aku perempuan dari Indramayu putri petani miskin bisa menjadi orang kaya raya. Bahkan dengan dua belas anakku aku semakin terkenal dan menggegerkan dunia politik. Padahal ketika aku mulai melucuti ketabahan iman, yang kuinginkan hanya sebungkus obat turun panas bagi anakku. Kupikir apalah artinya keegoisanku mempertahankan harga diri. Apalah artinya cemoohan orang akan kehinaan diriku bila dibandingkan dengan nyawa anakku? Ketika pintu kamar kubuka, di dalam hati aku bersumpah tak akan ada lagi air mata menetes. Juga pisau belati yang selalu menemani diriku selama ini kulemparkan ke meja perjudian. Semua tersentak. Rasanya ingin kutelan lima orang bajingan itu. Tapi aku hanya meludahi wajah suamiku yang pemalas, penjudi, dan gila harta itu. Matanya jadi berkilat-kilat keji. Dia bangkit sambil menggeram. Kubayangkan diriku terhumbalang menabrak dinding bilik karena pukulannya. Aku sering disakiti. Aku benci. Lalu kusobek baju hingga semuanya melihat dadaku.
            “Demi anakku. Anakmu juga kang. Kali ini penuhilah permintaanku. Belikanlah aku obat turun panas. Setelah itu kalian bolah berpesta pora dengan tubuhku ini!” kataku dengan menekan haru biru hati ini.
            Mereka tertawa. Dan dihambur-hamburkannya uang ke tubuh suamiku yang durjana itu. Lalu menjadikan aku budak nafsu. Biar! Biar! Biar! Tapi, kemudian kusadari aku telah membuat suatu kebodohan yang tak akan pernah kumaafkan. Mataku kuyu menatap Rigeulis. Oh Sukma ragaku engkau terbujur kaku. Mana obat turun panasnya? Kata-kata itu bagai palu godam menghantam kepala dan hatiku. Hingga aku terjerembab ke dalam dunia sesal yang gelap. Aku perempuan bodoh dan kotor. Mestinya aku pandai memperhitungkan kemungkinan dan menyiasati keadaan. Hm! Pengorbananku sia-sia!
            Apakah benar yang dikatakan orang-orang bahwa tenaga, otak, dan keimanan wanita lemah? Aku yakin tidak semua wanita lemah. Kecuali aku ini memang kunyuk! Karena jangan-jangan ada sebersit kesenangan di hatiku ketika dihinakan mereka. Prasangka itu membuat nuraniku menyelidiki setiap ruang rasa yang ada di sisi terang dan sisi gelap hatiku. Kucurigai diriku telah berdusta, menyemak belukarkan kebenaran dan melumuri norma dengan aib. Tapi itu pasti.
            Hingga kebimbangan menggiringku dalam renungan yang buntu. Aku jadi seperti boneka yang tak berjiwa, dingin tapi cantik. Herannya aku masih dipuja-puja lelaki hidung belang. Suamiku jadi semakin rajin menawarkan diriku pada bandot-bandot tua kalangan atas. Mereka berebut mendapatkan diriku. Bagi mereka dapat bermalam denganku berarti menaikan gengsi kejantanan mereka. Aku boneka cantik, budak nafsu sekaligus mesin beranak. Ini memang keturunan. Ibuku mampu melahirkan dua puluh dua anak. Boleh jadi karena masa itu belum ada program keluarga berencana. Sekarang sudah ada program keluarga berencana. Tapi aku tidak mau masuk program keluarga berencana itu.
            “Perempuan kelinci!” maki suamiku dari ruang tamu demi mendengar aku muntah-muntah. “Gugurkan!” perintahnya tandas dan bernada mengancam. “Heran! Ada perempuan yang senang hamil tiap tahun! Menjijikan!”
            Aku tidak perduli. Sejak hatiku hancur lebur di hadapan Rigeulis, tak akan ada sepatah kata pun untuk lelaki itu. Biar dia tersiksa oleh kenyataan bahwa anakku semakin banyak. Dulu aku sangat ketakutan bila dia mengancam akan membunuh anak-anakku. Tapi kini sudah kuketahui dia mulai menyenangi  anak-anak. Walau hanya dengan memandang lembut mereka dari jauh. Sekejam-kejamnya manusia, dia merindukan anak juga. Tentunya dia selalu bingung yang manakah anak kandungnya di antara sepuluh orang anak itu? Huh! Aku semakin senang membalas dendam padanya.
            “Anak-anakmu akan kubunuh!” terdengar lagi suaranya. Ancaman yang sudah basi. Aku keluar dari kamar mandi dan mengambil sebilah pisau di dapur. “Jangan!” dia terkejut. Dikiranya aku akan berusaha bunuh diri lagi. O, sekarang aku ingin hidup seribu tahun lagi agar puas membalas dendam padamu. Dan mengapa tidak segera kupikirkan cara praktis dan aman untuk menghabisi nyawamu durjana? Huh! Kulemparkan pisau ke meja dihadapannya. Lalu tanpa memperhatikan roman mukanya aku ke kamar. Di sana sudah menunggu ahli kecantikan yang akan mendandaniku. Sebab malam ini aku telah dipesan oleh seseorang konglomerat muda. Aku harus tampil prima. Akan kujadikan dia lain dari yang lain. Oh bertahun-tahun sudah aku jadi pelacur tapi baru hari ini aku bergairah untuk segera menemui pemesan.
            Dalam perjalanan menuju hotel yang dijanjikan, aku membayangkan konglomerat muda itu. Tentunya bertubuh atletis, berwajah tampan dan romantis. Aku semakin bergairah. Biasanya yang kulayani bandot-bandot tua. Tapi mampukah konglomerat muda itu menandingi pak Mentri? Ataukah hanya sejajar dengan suamiku si supir keparat itu? Dasar pelacur! Sok dingin tapi menikmati bahkan kelaparan juga!
            Sambil menantinya, kutegaskan pada diriku bahwa aku telah menjadi seorang ratu. Tak perduli walau ratu pelacur. Sewaktu kecil seorang peramal keliling memaksa meramal diriku. Padahal ibuku tidak setuju karena tidak punya uang. Dulu aku tidak percaya. Kini ramalan itu telah sebagian terbukti  Tapi bah! Aku sudah menunggunya selama dua jam. Aku harus pergi! Aku bukan dari Kramat Tunggak! Tapi pintu keburu terbuka. Seorang lelaki masuk dan dengan santainya duduk di bibir pembaringan. Tapi segera pandangan  matanya lekat ke wajahku. Mestinya  aku memarahinya kemudian menuntut ganti rugi. Tapi dia lebih muda dariku dan lebih rupawan dari yang aku bayangkan. Oh dua jam aku menunggu kedatangannya dan kini aku masih harus menunggunya bicara. Lelaki, rupanya kau sok tahan harga.
            “Bidadari!” akhirnya dia berkata juga. Dadaku terasa berkembang karena pujiannya. Betulkah engkau telah melahirkan sepuluh orang anak, izinkan aku berharap engkau akan melahirkan anak-anakku, Hei mengapa engkau diam saja?”
            “Hm…!” aku hanya tersenyum tipis. Lelaki tampan ini terlalu banyak bicara. Mengapa tidak segera memnuhi keinginannya?
            “Bidadari, kupanggil kau Cleopatra. Karena kupikir kecantikanmu mirip dengan wanita legendaris itu. Oh ya mungkin anak buahku sudah membunuh suamimu.”
            “Apa?” aku benar-benar terkejut. Suaranya tadi seperti petir di siang hari.
            “Aku yakin kau sangat ingin membunuhnya.  Dia telah menjajah dirimu bukan?”
            “Itu urusanku! Aku benci kamu!”
            “Cleopatra, bukankah aku telah membantumu?”
            “Apakah karena telah membaca Koran, majalah, atau telah mendengar perkataan orang kau sudah mengenalku? Apakah karena kau konglomerat muda dan tampan kau kira aku akan memaafkanmu? Kau sok pahlawan!”
            Dia bangkit dan mendekati aku sambil tersenyum. Sungguh senyuman yang sangat menggetarkan. “Apakah yang kau katakana sesuai dengan hatimu?”
            “Apa perdulimu? Pergi kau!”
            “Bidadari dingin itulah julukanmu.
            “Hari ini aku bahagia dapat membuatmu bahagia dan banyak bicara.”
            “Keparat! Pergi!” usirku tegas.  Tapi dia tetap berdiri di hadapanku sambil tersenyum-senyum di hadapanku sambil tersenyum-senyum. Aku kesal dan meninggalkannya.
Perasaanku semakin tidak menentu ketika kulihat mayat suamiku tergeletak bersimbah darah di dekat mobilku. Sudah bertahun-tahun tak ada air mata. Biarpun merana. Kutarik nafas panjang. Sesaat kulihat langit hitam tanpan bintang. Aku melangkah membawa hatiku yang kecewa, sedih, marah dan juga bahagia. Tapi aku yang dijajah. Jadi aku yang harus membunuhnya. Bukan dia! Kurang ajar! Oh apakah aku harus lapor polisi? Ah percuma. Dia konglomerat. Pasti bisa membebaskan diri. Tapi aku jadi punya uang untuk tetap menuntutnya. Huh! Apalah artinya semua itu!
Kini aku menjadi janda. Banyak yang melamarku. Tapi aku sangat menikmati kebebasan yang telah bertahun-tahun tak kumiliki. Laki-laki hanya ingin menguasai diriku. Aku tidak mau dijajah lagi. Biarlah mereka merayu. Dulu suamiku juga pandai merayu dan manis budi. Tapi setelah dia menikahiku, aku dipaksanya menjadi pelacur. Tapi tak bisa kupungkiri bahwa konglomerat muda itu telah memberikan apa yang aku rindukan. Kebebasan. Kini kusadari aku tak akan tega membunuh suamiku. Kalau bisa, sudah kulakukan sejak dulu. Oh dasar perempuan tolol! Seandainya waktu itu aku bersikap ramah, tentunya dia tak akan kapok memanggilku.
Kiranya dia tak akan pernah memanggilku untuk kencan di sebuah hotel. Karena dia malah datang ke rumahku. Aku pura-pura masih marah padanya. Ternyata dia tidak kapok. Setiap hari dia datang membawa senyuman cinta. Aku tetap berpura-pura tidak memperdulikannya. Tapi dia memang pandai. Dia mengakrabi anak-anakku. Dan tanpa kuminta dia tega menceraikan istrinya. Katanya karena cinta padaku. Dasar lelaki. Ini kemenanganku. Aku senang. Dia telah berhasil mendapatkan jiwa ragaku. Akupun menikmati persembahan cintanya. Kami bahagia. Semakin bahagia setelah anakku genap berjumlah dua belas. Jadi telah kupenuhi keinginannya agar aku melahirkan anak-anaknya. Karena itulah dia menghadiahi aku sekuntum mawar merah. Oh romantisnya dia. 
“Terima-kasih Cleopatra. Mulai sekarang kau boleh tidak hamil lagi.”
“Karena usiaku sudah empat puluh?”
“Karena dihatimu sudah tak ada dendam>”
“Ok handsome!” lalu kupeluk dia erat-erat. Aku merasa sangat bahagia.  Tapi rupanya kebahagiaanku tidak langgeng. Karena keesokan harinya dia merayuku. Dia memohon keikhlasanku. Dengan kata halus tapi kurasakan menekan dia memaksaku melacur lagi. Aku harus melayani beberapa orang pejabat. Katanya demi kebahagiaan bersama. Kucoba untuk mempercayai omongannya. Tapi rupanya hati harus terluka lagi…
“Cleopatra, hubungan kita hanya sampai di sini.” katanya setelah diangkat menjadi duta besar Indonesia di Inggris. Padahal aku telah berkata pada anak-anak akan mengajak mereka menikmati musim salju. “Maafkan aku Cleopatra. Namamu terlalu terkenal untuk istri seorang duta besar.”
“Yah!” jawabku singkat. Tak ada lagi air mata. Walaupun kekecewaan dan kesedihan tak terukur dalamnya. Laki-laki, kau selalu lebih pandai dariku. Kau selalu memperalat aku.
Aku menjanda lagi. Dan akan tetap menjanda agar bebas melampiaskan dendam pada lelaki. Selain itu aku tak ingin mengulangi kesalahan pada anak-anak. Memberi mereka ayah yang penyayang, tapi kemudian kasih-sayang itu diketahui palsu. Srigala berbulu domba.
Suatu hari aku menelpon seorang wartawan dan mengatakan kepadanya aku mau diwawancara. Keesokan harinya sebelum wawancara kuminta wartawan itu memotret kedua belas anakku satu persatu.
“Dia mirip pak Mentri Alwy.”
“Dia anak haramnya.”
“Yang ini mirip perdana mentri George Stevan.”
“George Stevan langganan saya.”
“Ini mirip pak walikota Nugraha.”
“Dia loyo. Tapi mampu juga memberiku anak.”
“Anda mempunyai koleksi anak-anak orang besar.”
“Ini sebuah kebanggaan bukan?  Pelacur mana yang bisa seperti aku?”
“Sungguh berita yang akan menghebohkan dunia. Berita ini akan kubuat bersambung. Biar pembaca penasaran dan koran kami laris. Aku akan dapat bonus. Oh ya apa rencana anda selanjutnya Cleopatra?”
“Aku sudah mempunyai dua belas orang anak yang genius. Mereka akan berpengaruh di negeri ini. Aku menanamkan kebencian di hati mereka agar kelak menjadi pemeras ayah-ayah mereka.”
“Cleopatra itu berbahaya!”
“Itulah Cleopatra. Malah aku ingin memikat Bill Clinton.” aku tak kuasa meneruskan kata-kataku. Rasanya hidup ini terlalu pahit. Hingga tak tertahankan air mataku menetes.

*&*
Indramayu, 12 November 1995.


No comments:

Post a Comment