Thursday, August 4, 2016

CERITA PENDEK PILIHAN



KELINCI PERCOBAAN
Cerita Pendek:  Untung Gautara

Seorang kiai muda merasa penyelidikannya telah usai. Noda hitam mencoreng wajahnya. Bahkan mencoreng imannya. Isu itu ternyata benar; Banyak kiai yang terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan. Dilema itu menggayuti jiwanya. Untungnya masyarakat masih mempercayainya. Bahkan menjadikan dirinya sebagai tumpuan harapan untuk merombak tatanan kehidupan yang semrawut di kota ini menjadi aman dan damai. Hal itulah yang mendorongnya bertekad akan meluruskan jalan para kiai yang sedang tersesat. Tapi rupanya rencana tinggallah rencana. Karena seorang lelaki yang mirip dirinya berdiri angker di ambang pintu masjid itu. Tangan kanannya memegang pistol. Suaranya dingin dan berat memanggil nama kiai muda. Kiai muda menengokkan kepala dan dor!
            Kiai muda terkapar. Mayatnya dimasukkan ke dalam mobil kijang dan dibawanya entah kemana. Seminggu kemudian mobil kijang itu parkir lagi di halaman masjid At Taqwa. Setelah menurunkan seorang penumpangnya, mobil itu melesat kesetanan. Orang yang diturunkannya seperti kiai muda. Tapi nampak kebingungan. Baru bangun tidurkah dia? Siapakah dia? Apakah arwah penasaran kiai muda?

            Suasana dini hari nan lengang itu menjadi riuh-rendah. Dari dalam masjid orang-orang keluar menyambut kiai muda. Selama seminggu mereka berkabung. Noda darah pada permadani masjid membuat mereka beranggapan bahwa kiai muda dibunuh orang. Polisi tidak menemukan jejak-jejak pembunuhnya. Apalagi menemukan mayat kiai muda. Oh menyedihkan sekali. Satu-satunya teladan hidup telah tiada. Pada siapa kami melabuhkan keluh kesah kehidupan ini? Pada siapa kami meneduhkan kegersangan jiwa? Oh kiai muda, tanpamu kota ini akan menjadi neraka. Oh kami menciap bagai anak ayam kehilangan induknya. Begitulah kesedihan hati jamaah masjid itu beberapa saat yang lalu. Kini, wajah neraka cerah. Teladan hidup hadir kembali. Kiai muda yang sakti. Kiai muda yang mumpuni. Mereka mengangkat kiai muda dan mengelu-elukannya. Jerit ketakutan kiai muda tenggelam dalam sorak-sorai pengagumnya.
            Waktu subuhpun tiba. Tapi tidak seperti biasanya. Kini kiai muda tidak mau jadi imam. Tidak mau memimpin doa. Juga tidak mau memberikan kuliah subuh. Dengan wajah muram kiai muda menjawab, “Saya tidak bisa!”
            Heran. Tapi keheranan itu mereka hapus dengan pengertian bahwa kiai muda juga manusia yang tak luput dari salah, dosa dan rasa cape. Tentu kiai muda sedang cape sehingga tidak sanggup menjalankan aktifitasnya sehari-hari.
            Rasanya masih kangen. Tapi tanggungjawab mencari nafkah untuk anak istri membuat mereka terpaksa pulang. Kini kiai muda sendirian. Dicobanya membuang kebingungan tapi gagal. Lalu dia berjalan ke teras masjid. Menyandarkan tubuhnya ke sebuah tiang dan merenung. Tapi terganggu. Dua orang lelaki setengah baya datang menghampirinya. Mereka mengenakan jubah dan sorban putih bersih. Tutur kata mereka halus menyenangkan hati. Hingga kiai muda mau diajak pergi.
            Mereka jalan-jalan menikmati suasana pagi. Burung-burung dan kupu-kupu berterbangan. Angin sejuk semilir menerbangkan aroma wangi kembang-kembang. Kiai muda merasa sedikit lega. Tapi ketika mereka sampai di perempatan jalan, orang-orang yang waktu subuh sholat di rumah mereka masing-masing menghadang. Satu-persatu mereka menyalami bahkan memeluk kiai muda dengan mata berkaca-kaca.
            Suasana duka kembali menyekap mereka. Namun doa yang dibasahi air mata tetap mereka panjatkan. Ya Allah selamatkanlah kiai muda. Dia guru kami. Ya Allah… Ya Allah… Doa mereka ikhlas sampai ke relung hati. Allah mengabulkan. Hanya seminggu lamanya kiai muda di rawat di rumah sakit. Besok pagi akan dijemput pulang. Dan malam ini, seperti biasanya Etin datang ke kamarnya.
            “Kiai, malam ini malam perpisahan.”
            “Ya terima-kasih atas kebaikkanmu selama ini. Aku sangat terkesan padamu. Dalam waktu seminggu aku telah merasa dekat denganmu. Tapi ketahuilah aku ini bukan kiai Mohamad Fajar. Aku Karsim.”
            “Kiai?”
            “Sebutan itu tidak pantas untuk pemuda bodoh sepertiku.”
            “Kau rendah hati kiai. Aku semakin kagum padamu.”
            “Etin…”
            “Oh…”
            Kiai muda mendekati perawat jelita itu. Etin malu-malu dihampiri pemuda setampan kiai. Hatinya berdesir-desir. Karena sesungguhnya mereka telah sama-sama jatuh cinta. Malam ini dendam kasmaran tuntas dilampiaskan. Mereka lupa daratan.
            Setelah semua terjadi, Etin menangis menyesali diri. Kini dia tak punya mahkota lagi. “Kaukah kiai muda Mohamad Fajar yang telah tega melakukan padaku?”
            “Aku bukan kiai. Aku pemuda dari broken home yang prustasi karena pacarku berpaling pada orang lain setelah tahu ibuku germo dan ayahku penjudi. Waktu itu aku menabrakkan diri pada mobil yang berkecepatan tinggi. Kemudian kutemukan diriku menjadi kiai. Aku tersiksa dengan menjadi kiai. Aku bukan orang suci. Aku tidak bisa mengaji. Aku tidak bisa menjadi imam dam memberikan kuliah subuh. Karena aku anak pelacur!”
            “Kiai?” Etin terheran-heran. Penyesalannya berangsur reda. Kini naluri keperawatannya muncul. Buru-buru dia mengenakan pakaiannya. Setelah itu menempelkan telapak tangannya ke kening kiai muda. “Panas! Kiai kau? Tapi aku tetap mencintaimu. Aku akan merawatmu. Oh Kiai maafkan aku. Aku telah menodaimu. Kalau kau sehat pasti tak akan menyentuhku. Oh Kiai jangan terlalu memikirkan kebobrokan moral kota ini! Kiai, aku jahat! Aku mengotori kesucianmu!”
            “Hentikan!”
            “Kiai?”
            “Telingaku sakit mendengar sebutan Kiai. Sudah kubuktikan aku bukan Kiai. Aku si bangsat Karsim. Baik aku buktikan lagi.” Ancam kiai muda. Lantas dia menarik Etin ke dalam pelukannya. Etin diciuminya dengan kasar. Gadis itu menjerit-jerit ketakutan. Jeritannya terdengar oleh teman-temannya. Mereka memburu ke kamar itu. Pintu mereka buka, hingga mata mereka terbelalak.
            “Oh!” Etin menghambur pada teman-temannya. “Kiai gila! Tangkap dia! Suntik dia dengan obat penenang. Oh luka diperutnya berdarah lagi. Ini salahku. Cepat tolong dia!” pinta Etin cemas.
            “Aku tidak gila! Aku bukan kiai! Aku orang kotor! Jangan paksa aku menipu orang-orang shaleh itu! Hiaaa!” Kiai muda berlari ke arah pintu dengan tubuh tak tertutup selembar benangpun. Hingga yang melihatnya semakin yakin bahwa kiai gila.
            “Satpaaam! Tangkap orang itu!” perintah Etin pada satpam yang terkantuk-kantuk.
            Satpam tetap terkantuk-kantu. Kiai muda terus berlari tanpa rintangan. Jahitan luka di perutnya semakin deras meneteskan darah. Tapi dia tidak perduli dan terus saja berlari. Di pintu gerbang rumah sakit, terpaksa dia berhenti. Karena di hadapannya berdiri gagah seorang lelaki memegang pistol. Pesss! Pistolnya ditembakkan. Asap putih tipis mengepul menerpa wajah Kiai muda hingga terkulai tak sadarkan diri. Lelaki itu menyeret Kiai muda dan memasukakannya pada mobil kijang. Sesaat kemudian mobil itu melesat bagaikan terbang.

***
Di rumah gembong panjahat Gautara, sepuluh orang perampok sedang menunggu tuannya. Yang tubuhnya tinggi besar dan wajahnya berewokan berkata. “Jangankan yang awam, kiainya saja dapat kita giring ke tempat-tempat maksiat. Bebek-bebek kita laris. Obat-obat terlarang dagangan kita juga laris. Setan bersama kita. Hahaha…!”
“Kiai Mohamad Fajar, yang salama ini jadi penghalang telah mati kubunuh!” berkata yang lainnya dengan nada bangga. “Sekarang kita leluasa. Kota ini sampai perkampungan santri itu adalah wilayah kita.’
Sepuluh orang perampok itu tertawa. Ketika seorang pemuda jangkung atletis masuk, tawa mereka spontan berhenti. Kening pemuda tampan itu berkerut-kerut. Dia merasa asing dengan ruangan itu. Dia berdiri bagaikan patung. Sepuluh orang perampok mengira dia marah. Mereka bubar. Biarlah malam ini tidak operasi. Asal tidak digampar bos.
Mamang, pembantu yang masih berdiri di ambang pintu kembali melongo keheranan. Tapi kemudian dia penuhi permintaan tuannya.  Mamang mengantar Gautara ke kamarnya. Di kamarnya tentu saja ada Mona yang cantik dan sexy. Seminggu tidak bertemu dengan Gautara, Mona kangen dan langsung memeluk kekasihnya itu. Gautara kaget dan melepaskan diri dari pelukan Mona. Mona kecewa. Dia keluar dari kamar itu sambil menangis.
Gautara nglegleg. Keanehan demi keanehan melanda kehidupannya. Kini dia tidak tahu siapa dirinya. Karsim pemuda prustasi, Kiai muda Mohamad Fajar ataukah Gautara si gembong penjahat? Dengan lesu Gautara mendekat ke cermin. Sudah lama dia tidak bercermin. “Hei!” Gautara terbelalak. “Wajah tampan siapakah yang ada di dalam cermin itu? Oh aku memiliki wajah Arjuna. Tapi hati dan pikiranku tetap milik Karsim. Bukan milik Mohamad Fajar atau Gautara. Aku jadi ingat lelaki misterius itu. Tadi dia mengantarku sampai di pintu gerbang rumah ini. Dia bagai bayangan. Malaikatkah dia? Siapakah dia? Apu maunya? Apakah dia ingin mendalangi kehidupanku? Aku bukan wayangnya. Aku tidak suka hidup begini!” rutuk kesal Gautara.
Esok harinya Gautara memutuskan untuk berhenti menjadi gembong penjahat. Itu berarti anak buahnya harus mengikuti pula keinsyafannya. Sejak hari itu mereka tidak lagi mempunyai rumah-rumah pelacuran. Mereka tidak lagi berdagang obat-obat terlarang. Tidak lagi merampok. Tidak lagi melakukan kekerasan. Mereka tinggalkan dunia hitam dan kembali ke dunia yang di ridhoi Tuhan.
Gautara yang dulu penjahat, kini dikenal sebagai seorang dermawan. Dia dihormati dan dicintai banyak orang. Dia welas asih kepada anak-anak yatim piatu dan rakyat kecil yang kesusahan. Bahkan bulan depan, dia dan sepuluh orang anak buahnya akan menunaikan ibadah haji.
Sebelum naik haji, hari ini Gautara datang ke sebuah rumah sakit untuk memastikan bahwa hidupnya bukan mimpi. Dia menemui seorang dokter. Kepada dokter itu dia minta dipanggilkan seorang perawat bernama Etin. Ternyata, hidupnya memang bukan mimpi. Etin hadir lengkap dengan wajah bidadari dan senyum ramahnya. Setelah berbasa-basi, Gautara menunjukkan bekas jahitan luka di perutnya. Etin terkejut.
“Kau?”
“Karsim Mohamad Fajar Gautara.”
“Kau? Tidak!”
Kata-kata Etin terputus karena tiba-tiba pintu dibuka orang. Wanita cantik bekas simpanan Gautara menyeruak masuk. Matanya garang hatinya panas di bakar api cemburu. Secepat kilat dia mengambil pistol dari tas kecilnya. Etin mengaduh dan terkapar dengan dada bersimbah darah karena ditembus peluru.
“Mona kau?”
“Kau melukai hatiku!” jawab Mona dingin. Lalu dia menembak Gautara. Lelaki tampan itu terjungkal. Mona terus menembakinya. Bahu dan paha Gautara mengucurkan darah. “Hahaha…!” Mona tertawa gila.
Dor! Tawa Mona berhenti seketika. Dokter bangkit dari duduknya. Pandangan matanya Nampak kuyu tapi sesaat kemudian berkilat-kilat api angkara, “Kelinci-kelinciku, aku dokter bedah plastik yang gagal!” keluh dokter itu bagai bergumam. Lelaki itu kini meneteskan air mata lalu menembak kepalanya sendiri.

*&*
Indramayu, 7  Februari 1995

No comments:

Post a Comment