Sunday, August 21, 2016

TERSESAT


 
Cerita Pendek: Untung Gautara

Sudah lama aku sadar bahwa aku harus nakal. Tapi aku belum juga bisa nakal. Hati nuraniku ini kolot dan tidak bisa diajak kompromi. Hati nuraniku selalu saja melarang, “Jangan! Jangan! Itu dosa!” aduh akibatnya aku sering dimarahi bapak. Aku sering meratapi nasibku yang buruk ini. Oala…
“Kamu bisa berhasil seperti mereka.” kata setan merongrong keimananku. “Kamu pandai segala macam. Manfaatkan kepandaianmu!”
“Aku tidak bisa…”
“Goblok! Hatimu lembek seperti kerupuk kesiram air! Goblok! Ya sudah nikmati kemelaratanmu!”
Yah, aku harus bagaimana? Aku memang ingin hidup berkecukupan. Tapi aku tidak bisa usaha. Aku tidak mau dagang. Karena pedagang pandai berbohong. Aku tidak mau jadi pegawai, karena pegawai suka korupsi duit dan waktu. Leha-leha makan gaji buta. Juga tidak mau jadi seniman. Seniman dekat dengan setan. Aku tidak mau menyinggung apalagi menyakiti hati orang lain hanya karena nafsu duniawi. Aku pasrah sajalah pada nasib. Tapi benarkah aku pasrah? Oh, aku bingung.
“Bingung-bingung tai kucing!” maki bapakku sepulang menarik becak. “Wis kaplak mencari sebatang rokok untuk mlepus sendiri saja tidak becus! Si Raswin sedang sakit. Becaknya nganggur. Kau sewa saja becaknya untuk cari duit!”
“Tidak!” jawabanku tegas. “Tukang becak terkenal rakus. Perjanjiannya tujuh ratus, diberi uang seribu alasannya tidak ada pengembaliaannya. Pendusta. Serakah. Aku tidak mau jadi tukang becak!”

“Kamu menghina tukang becak, berarti menghina bapakmu! Juga menghina dirimu sendiri! Kau dibesarkan dan di sekolahkan sampai lulus SMA dengan uang dapat ngebecak!”
“Saya malu bapak jadi tukang becak!”
“Kunyuk!” bentak bapakku menggelegar. Kulihat matanya melotot. Mukanya memerah marah! “Jadi tukang becak lebih mulia dari pengangguran. Kau selalu ngomong tidak mau menyinggung perasaan orang lain. Tapi kau selalu menyakiti hati bapakmu! Pergi kau! Pergi!” usir bapakku dengan mendorong tubuhku hingga terjengkang keluar.
Dengan kasar bapak menutup pintu dan menguncinya. Sumpah serapah dia lontarkan untukku. Hingga air mata tak kuasa kubendung. Oala di saat aku bingung menentukan sikap dalam hidup ini, Bapakku tak mau lagi kujadikan tempat berlindung. Bapak mengusirku. Sudah begitu sakitkah hati bapak karena ulahku? Ataukah karena bapak ingin bebas mengajak pelacur tua Nartem ke rumah? Oh, apalagi orang lain, bapakku saja tidak mau mengerti jiwaku.
Aku pergi dibakar matahari dengan hati mengucurkan darah dan badan basah keringat. Aku terus melangkah. Walau tanpa tujuan. Hingga menjelang sore saat langit berubah hitam. Petir ganas menyambar-nyambar. Sebatang pohon cemara tumbang menghalang di jalan raya. Hujan turun deras sekali. Aku menggigil sepanjang trotoar. Wajah bapak tiba-tiba membayang. Ah, tentunya dia sedang asyik dengan Nartem. Dia sudah tidak bertanggungjawab dengan anak semata wayangnya ini. Aku dibuang. Aku dendam padanya. Tekadku biar sengsara aku tidak akan pulang. Akan kubanting diriku dihadapan Tuhan. Karena sudah kuketahui kasih sayang bapak hanya sampai disini.  Biarlah toh bapakku miskin harta dan  juga miskin kasih sayang. Kini ingin kutahu sebatas apa kasih sayang Tuhan.  
Sialan! Di kota ini kalau hujan turun deras selalu saja mati lampu. Suasana jadi gelap dan huh sepi sekali. Tak ada seorang pun yang keluar rumah. Aku menggigil di emperan toko bersama gembel-gembel kota. Mereka asyik saja tidur seakan tidak merasa dingin. Mungkin karena sudah biasa. Tapi kudengar suara rintihan dari ujung sana. Kasihan tentunya gembel diujung sana sedang sakit. Aku mendekatinya. Mungkin aku bisa menolongnya. Tapi tiba-tiba petir menggelegar lagi. Aku terkejut dan menjadi sangat terkejut karena cahaya petir itu membuatku mampu melihat gembel yang merintih-rintih itu. Setelah tahu, semestinya aku pergi. Tapi aku malah mendekatinya. Aku ingin melihat lebih dekat lagi. Mungkin karena aku masih muda dan sering memimpikan itu.
“Bajingan!” maki sang lelaki seraya bangkit dan memukul wajahku. Aku terjengkang hingga menindih seorang gembel. Gembel itu menjerit kaget dan marah-marah tidak karuan. “Keroyoook!” perintahnya dengan suara mengguntur. Mendengar itu aku ingin lari. Tapi gembel-gembel itu serentak bangun dan mengurung diriku. Kemudian mereka menganiaya aku.
“Ampun, ampun!” pintaku berulang-ulang. Tapi mereka tetap menganiaya diriku. Walaupun berulangkali aku sudah minta ampun, oleh manusia-manusia gembel itu aku terus disiksa. Oh aku selalu berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Tapi kenapa bagini balasannya? “Ampun aduh ampun ampun…”
“Hia!” Kudengar teriakan yang keji. Lalu kurasakan kepalaku dihantam benda keras. Kepalaku mengucurkan darah dan sakit sekali. Kirik! Mereka malah tertawa mendengar rintihanku. Oh rasanya badanku remuk. Terkapar bersimbah darah. Hingga apa yang terjadi kemudian aku tidak tahu.
“Sampah!” maki seseorang sambil menyiramkan air kecomberan ke tubuhku. Aku ingin bangkit dan membalas makian orang itu. Tapi badanku serasa tak bertulang. “Bangun!” bentak lelaki berseragam baju kuning itu. “Cepat bangun dan pergi dari sini!”
Aku ingin mengatakan kepada tukang sapu itu, bahwa aku sakit. Tapi tukang sapu itu keburu menarik tubuhku. Dia menceburkan tubuhku ke kecomberan. Oh, Tuhan kau tidak menolongku. Engkau dimana Tuhan? Tidakkah engkau melihat penderitaanku?
Tuhan. Dengan sisa-sisa tenagaku akhirnya aku dapat keluar dari dalam kecomberan itu. Kini aku tertatih-tatih menuju rumahmu. Aku ingin mengadu padamu Tapi ternyata, pak kuncen masjid itu mengusirku seperti mengusir anjing budug. Tuhan engkau bisa mengetuk hati kuncen masjid itu agar mengizinkan aku mandi, berwudhu dan menyembahmu. Tapi kenapa engkau tidak mengetuk pintu hatinya?
Hidupku jadi mblangsak begini. Anak-anak kecil sering melempari aku dengann kerikil. Bocah, aku bukan orang gila. Izinkan aku numpang mandi. Setelah mandi kalian pasti kaget. Waktu sekolah aku dijuluki Arjuna. Oh mengapa hujan pun belum turun lagi? Duh, Tuhan aku ingin mandi, makan, dan minum. Tunjukkan kemahaanmu Tuhan! Tunjukan Tuhan!
Oala entah sudah berapa hari aku menanti-nanti, tapi pertolongan Tuhan belum datang juga. Aku protes! Tuhan tidak adil padaku! Percuma aku rajin shalat dan puasa. Percuma aku baik pada orang lain.
Percuma aku selalu menghindari perbuatan yang yang dilarang Tuhan. Percuma, cuih! Aku meludah. Percuma! Janji-janji keadilanmu Membuatku muak.  Biar kugiring srigala, macan, kalajengking hingga iblis ke dalam hatiku. Biarlah dari waktu ke waktu aku asyik memelihara mereka dalam suaka mergasatwa hatiku hingga gemuk-gemuk, liar dan buas!
Kini aku menjadi pemain sandiwara yang hebat. Kepada semua orang aku bisa beramah-tamah. Hahaha… kutipu mereka dengan kebaikan palsu lalu kujerat mereka hingga sekarat. Rupanya hidup memang harus nakal, bejad, jahat, kejam, dan licik! Lihat sekarang hidupku jadi mewah. Kemewahanku tinggi menjulang susah diukur. Kujamin tujuh turunan tak akan habis. Hahaha…!
Hei jangan kau kira aku sebodoh Edi Tanzil. Hanya aku saja yang tahu bahwa aku penjahat yang bersekutu dengan iblis. Tak akan kuceritakan kepada siapapun tekhnik kelicikanku dalam memangsa korban. Manusia itu comel. Bercerita kepada istriku saja aku tak mau. Aku tak mau ambil risiko nama baikku hancur gara-gara mulut istriku.
Bah! Tapi ada satu hal yang tak bisa kupungkiri. Aku sering menyombongkan diri pada Tuhan. Aku bisa menjadi kaya raya tanpa kuasanya. Tapi aku akui aku juga sering takut padanya. Karena shalatku selama ini hanyalah ria.
Kalau ingat Tuhan aku jadi gelisah. Kecongkakkanku tak bisa menghapus kegelisahanku. Oala sepanjang hidupku selalu gelisah. Tapi aku tak akan mencabut dendamku padanya. Tuhan tidak pernah mengabulkan permohonanku. Malah Tuhan semakin kejam padaku. Sekarang anakku hilang. Istriku keyungyun anak hingga sakit. Sedangkan aku, sebenarnya tidak merasa kehilangan Rigeulis. Mulutku memang sering memuji kecerdasan dan kerajinan Rigeulis menunaikan shalat dan mengaji. Tapi hatiku jengkel. Karena bila kudengar dia mengaji aku ingat Tuhan dan gelisahku datang menyekap.
Rigeulis belum genap tujuh tahun. Tapi dia sudah mengerti sopan santun, rajin membantu pekerjaan ibunya dan welas asih pada sesama. Aku yakin kebaikkan anakku yang cantik itu tulus lahir bathin.  Semestinya aku bangga memilikkinya. Tapi tidak. Karena setiap kali mataku beradu pandang dengan matanya yang bening, kurasakan beribu jarum meluncur dari matanya menghujam hatiku. Aku jadi canggung, benci, dengannya. Terkadang aku ingin diam-diam meracuninya. Tapi rencana itu belum kulaksanakan juga. Mungkin karena aku sibuk. Ataukah karena aku tidak tega?
Ternyata Rigeulis mati sebelum kubunuh. Sebuah bus menabraknya. Tubuhnya rusak. Tapi istriku meyakini bahwa mayat itu mayat Rigeulis. Pakaian, sepatu, dan tas sekolahnya sama. Di ruang mayat itu istriku pingsan. Sedangkan aku berdiri terpaku. Tiga hari yang lalu Rigeulis masih mengaji merobek-robek hatiku. Kini dia sudah tiada. Oh aku merasakan ada sesuatu yang pergi dari diriku. Apakah aku merasa lega?
Tuhan bertahun-tahun aku mengeraskan hati untuk tidak menangis. Kini aku meneteskan air mata untuknya. Anakku. Ternyata aku mencintainya. Oh Rigeulis anakku…
Penyesalan memang selalu datang belakangan. Tapi percuma menyesal. Rigeulis sudah tiada. Tuhan, dengan kematian Rigeulis aku sudah sangat menderita. Hentikan kekejamanmu! Sembuhkan istriku! Aku tak mau kehilangan semua orang yang kucintai. Sembuhkan istriku Tuhan…
“Pak    ibu       gawat!”           kata pembantuku sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
“Tidak!” bantahku seraya bangkit dari tempat tidur. Aku keyungyun Rigeulis. Dan kini istriku akan kau ambil juga Tuhan? Tuhan berhantilah menghukumku! Aku memang salah. Aku manusia hitam. Manusia yang tersesat. Tapi jangan pula kau hukum istriku. Dia tidak tahu aku nyupang, merampok, dan membunuh buat wadal. Sembuhkanlah dia Tuhan. Tunjukkanlah kebesaranmu!
Aku tidak tega melihat keadaan istriku. Dia terbaring dengan tubuh lemah tak berdaya. Oh Tuhan, aku tahu obat-obat di meja itu tak akan dapat menyembuhkan istriku tanpa izinmu. Sembuhkanlah istriku Tuhan.
“Mamah! Papah!” tiba-tiba ada suara yang sangat kukenal. Aku tidak percaya. Padahal Rigeulis sudah tiada. Tapi dari ambang pintu kamar kulihat Rigeulis berlari mendekatiku. Aku menggosok-gosok mataku. Benarkah penglihatanku? “Mamah! Papah!” kulihat kening Rigeulis berkerut.
 “Aku pulang pah!”
“Rigeulis!” panggil istriku seraya bangkit dan duduk di pembaringannya. Istri dan anakku berpelukan. Aku tercengang pada apa yang kulihat dan kurasakan di hati. Betapa selama ini cinta tertutup oleh kesombongan! Kemudian malu dan sesal mengisi ruang hati.
Masuk pula Mona adik istriku. “Hati-hati jadi orang kaya dan punya anak kecil. Rigeulis bisa jadi Sandra untuk pemerasan yang kedua kalinya! Tapi Alhamdulillah suamiku dan teman-temannya dapat meringkus kawanan penculik itu. Kini anak telah kembali pada orang tuanya…”
“Dan aku… aku kembali pada Tuhan…” kataku dalam hati. Tapi gemanya agung menyelusup sejuk hingga ke urat nadi. Karena syukurku tak terperi.

*&*
Pabeanudik, 29 Maret 1995
 

No comments:

Post a Comment