Sunday, September 4, 2016

MIMPI BURUK Cerita Pendek by Untung Gautara

 
Suasana semakin panas dan keruh ketika Nurmawati menginap di rumahku. Melihat mereka nekad menyerbu rumahku, aku mengelus dada. Kesal. Nurmawati ketakutan. Dia memegangi tanganku sangat erat. Aku menolehkan kepala melihat wajahnya. Wajahnya pucat. Matanya memandangku seperti mohon perlindungan. Ketika aku akan membuka pintu, dia menarik tanganku. Tapi aku harus membuka pintu, sebelum mereka mendobraknya. Ketika aku telah berdiri di depan mereka, dengan serentak mereka diam. Tapi tatapan mereka tetap memancarkan kebuasan.
Dia adik kandungku! Jadi dia berhak tinggal di rumah ini! Mengerti?” kataku tegas.
Jangan membohongi kami! Aku tahu betul silsilah keluargamu! Usir perempuan itu dari sini!” perintah salah seorang dari mereka kepadaku.
Sejenak aku termenung. Haruskah aku mengusir Nurmawati dari sisiku? Sejenak aku termenung. Haruskah aku mengusir Nurmawati dari sisiku? Sedangkan sebelum dia datang, aku selalu merindukannya. Tapi bila Nurmawati tetap di sini, pastilah mereka akan selalu berusaha membunuhnya. Oh itu adalah sesuatu yang sangat menakutkan!
Hei dengar! Gadis ini benar-benar adikku! Adik kandungku!” kataku masih berusaha meyakinkan mereka.

Omong kosong! Selama hidupnya, ayah dan ibumu tidak pernah kawin dengan orang lain! Jadi dia bukan adikmu! Sekali lagi aku perintahkan, usir perempuan itu!”
Kemudian mereka menjeritkan kata-kata pengusiran yang pedas untuk Nurmawati. Nurmawati semakin ketakutan dan menarikku untuk masuk ke dalam rumah.
“Mas ayo kita masuk! Aku takut mas. Besok aku akan pulang. Aku takut!”
“Tenanglah Nur!” pintaku penuh harap. Sekilas Nurmawati memandangku iba. Karena mereka Nurmawati bersedih. Aku jadi semakin geram pada perempuan-perempuan gila di hadapanku. “Hai kalian semua! Diam!” bentakku menggelegar. Mereka diam. “Perlu kalian ketahui, kalau kalian mengusirnya, itu berarti pula mengusirku! O itu sesuatu yang sangat menyenangkan. Sebab aku akan jauh dari kalian yang selama ini sangat memuakkan. Pikirkanlah itu baik-baik!” kataku mantap. Mereka diam terpaku. Melihat itu hatiku sedikit lega. Gertakanku berhasil. Pasti mereka sedang membayangkan betapa hampanya hidup tanpa aku di sini. “Pulanglah kalian kalau tidak ingin kehilangan diriku!” Mereka memandangku dengan tatapan mata yang sulit aku artikan. Mungkin tatapan sayang. Tapi mungkin juga tatapan geram. Kemudian kulihat mereka meninggalkan halaman rumahku.
Bulan purnama di langit dan lampu-lampu teras membuat malam jadi terang. Mestinya aku menikmati suasana malam ini dengan damai. Tapi yang kurasakan malah kesuraman dan kekacauan. Ketika mereka telah pergi, kubimbing Nurmawati memasuki rumah. Di ruang tamu kami duduk berhadap-hadapan. Membisu dengan pikiran yang ruwet.
“Mengapa mereka jadi seperti itu?” tanya Nurmawati menyudahi kebisuan.
“Mereka tidak menghendaki kau mencintaiku.” jawabku tawar.
“Oh… lalu?”
“Cinta memerlukan pengorbanan.”
“Ya cinta memang memerlukan pengorbanan.” kata Nurmawati bagai bergumam. “Tapi tadi kau tidak jantan. Mengapa kau membohongi mereka dengan mengatakan aku adalah adik kandungmu?”
“Sepintas kupikir itulah cara yang paling mudah untuk melindungimu. Tapi ternyata gagal. Untungnya aku cepat menemukan cara lain.”
“Mas aku ke sini karena muak pada kemunafikan dan kekejaman di sana. Tapi di sinipun…ah!” keluh Nurmawati sendu.
“Aku turut merasakan dukamu. Dukamu adalah dukaku juga. Dukanya insan yang mendambakan cinta dan ketentraman hidup. Sekarang ini zamannya sedang amburadul. Karena manusianya telah diperbudak setan. Ah entah kapan suasana seperti ini akan berubah menjadi suasana yang nyaman. Nur, sebaiknya kau istirahat dulu. Persoalan ini kita bicarakan besok saja. Bukankah seharian penuh engkau telah menempuh perjalanan? Pasti engkau lelah. Istirahatlah!”
“Aku memang sangat lelah. Tapi dapatkah aku tidur bila baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan?”
Dia memandangku sendu. Aku mengangguk mengiyakan agar dia tidur. Dengan bahasa tatapan mata, kukatakan bahwa aku akan menjaganya. Lantas dia menuju pembaringan. Engkau tak usah cemas sayang. Kataku dalam hati.
Perasaan bersalah menggedor jiwaku. Ah! Seharusnya aku selalu berada di samping Nurmawati kemanapun dia pergi. Keadaan sangat gawat. Mereka tak pernah pandang bulu dalam menyingkirkan saingannya. Dan Nurmawati terlalu lemah sebagai lawan mereka yang garang dan binal.
Mencari Nurmawati aku terbayang akan kekejaman mereka. Perempuan-perempuan itu mungkin kesurupan jurig sehingga lupa akan kodratnya sebagai wanita. Sebagai ibunya manusia. Yang harus berkepribadian lembut dan penuh kasih sayang. Perempuan-perempuan itu begitu haus akan harta, kekuasaan, dan belaian lelaki muda yanggagah dan tampan! Untuk mendapatkan apa yang di inginkan, mereka sampai mengadu kekuatan antara yang satu dengan yang lainnya. Mungkinkah ini perkembangan emansipasi wanita yang keblinger? Mulanya bekerja untuk membantu suami dalam mencari nafkah. Tapi lama-kelamaan menginjak kepala suami dan menyiksa batinnya. Sungguh menyedihkan lelaki yang mempunyai istri seperti mereka. Kebahagiaan sirna dari hidupnya. Hingga tak heran bila badannya menjadi kurus-kering, yang tak lama kemudian akan mati sengsara. Dan yang mati ngenes tidaklah terhitung. Tahu-tahu di bumi ini angka jumlah penduduk dikuasai oleh wanita.
Aku menyesali kaumku yang menjadi lemah tak berdaya. Tidak mampu bangkit seperkasa dulu. Mungkinkah patah hati? Apakah salah kaumku hingga hidup begitu sengsara? Apakah kesalahan kaumku adalah telah memberikan kebebasan bagi kaum wanita? Hingga kaum wanita memenuhi lapangan pekerjaan. Lelaki nganggur tidak punya uang. Orang tidak punya uang tidak disayang, lalu ditendang.
Lelaki gagah dan tampan akan menjadi rebutan mereka. Seperti diriku ini. Mereka sudah tak punya malu lagi untuk berkelahi memperebutkan diriku. Aku tidak bangga menjadi pemuda rebutan. Sebab aku tahu betul mereka memperebutkan diriku hanya untuk memuaskan napsu mereka. Napsu binatang. Aku jijik tapi aku tidak punya pilihan lain.
Bila kutahu keributan mereka ada mengorbankan jiwa, betapa hati ini merasa berdosa. Gara-gara diriku mereka mengadu jiwa. Kalau sudah begitu ingin rasanya kusudahi hidupku agar tidak melihat mereka berkelahi lagi. Namun selalu saja disaat seperti itu bayangan Nurmawati muncul dengan kesejukan tutur katanya, ”Aku akan melahirkan anak-anak yang shaleh. Anak yang akan menjadi pemimpin dunia. Pemimpin yang bijaksana. Pemimpin yang mampu menertibkan kekisruhan ini. Anakku kan anakmu juga mas?” Memang anak yang shaleh adalah mimpi dan harapanku.
Aku mencari Nurmawati sambil melamun. Lamunanku terputus ketika kudengar jeritan yang menyayat hati. Segera aku berlari kearah datangnya suara jeritan. Betullah kiranya apa yang aku duga. Nurmawati sedang dikeroyok mereka. Oh…
“Berhenti!” perintahku geram. Mereka belum berhenti juga. Malah semakin ganas menyerang Nurmawati. Aku berusaha menerobos keroyokan itu untuk menolong Nurmawati yang ada di tengah mereka dalam keadaan teraniaya. Tapi susah.
Hei! Kalian kira dengan unjuk kekuatan begini aku akan jatuh hati pada kalian!” teriakku penuh emosi. “Aku malah akan pergi dari sini!” teriakku marah. Mereka malah menertawakan ucapanku. Salah satu dari mereka malah berkata lantang, “Kau anak yang patuh pada orang tua! Hahaha…!”
Hatiku menjawab ya. Yah kalau bukan karena wasiat orang tua untuk membangun tempat kelahiranku, tentunya aku sudah lama pergi dari sini. Aku mendengar lagi rintihan Nurmawati. Sangat memilukan hati. Kulihat dia terkapar merana. Pakaiannya koyak. Oh alangkah kejamnya perempuan-perempuan ini. Aku harus membawa Nurmawati pulang dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Tapi niatku itu terhalang. Dengan geram aku melancarkan tendangan-tendangan dan pukulan. Beberapa orang dari mereka kudengar menjerit kesakitan. Tapi selanjutnya aku terkurung dalam perkelahian yang tidak seimbang. Sejak kapankah mereka bersatu-padu seperti ini? Sebuah persatuan yang merugikan diriku.
Lama dikeroyok akhirnya aku terkapar di tanah yang terjal. Dalam ketidak berdayaanku kukutuk mereka habis-habisan. Betapa tidak, mereka mengumuli aku secara bergiliran. Sepertinya mereka begitu haus akan diriku, yang tidak pernah menghiraukan persembahan napsu mereka. Tapi yang membuat hatiku semakin hancur adalah ketika dia ikut-ikutan menjadikan diriku sebagai pemuas napsu. Aku ingin menghindarinya. Aku tidak ingin melakukannya. Tidaaaak!
Aku terjaga dari mimpi yang sangat mengerikan. Mimpi tentang perkembangan emansifasi wanita yang keblinger. Emansifasi yang membuat kengerian. Berangsur-angsur kesadaranku pulih kembali. Berulangkali aku membaca istighfar. Oh rupanya aku terlalu memikirkan Nurmawati yang terlambat pulang hingga hal itu terbawa dalam tidurku dan menjadi mimpi buruk. Tidak! Nurmawati tidak akan pernah menginjak diriku, apalagi menjajahku. Seharusnya aku tidak membayangkan dirinya berlaku yang tidak-tidak. Dia seorang istri dan ibu modern yang baik. Aku yakin. Kemudian rasa cintaku mengajak diriku untuk pergi ke kamar anak-anak. Pada anak-anakku yang tidur lelap aku berkata lirih, “Anak-anakku maafkan ibumu bila terlambat pulang.” kubetulkan letak selimut mereka. Lalu satu persatu kening kedua anakku kukecup cinta. Kemudian kudengar bell berbunyi Nurmawati pulang. Bergegas aku ke pintu depan. Kubuka pintunya, dan aku melihat Nurmawati. Dia memeluk seorang pemuda belasan tahun yang gagah dan tampan. Aku dikenalkan kepadanya sebagai pembantu yang malam ini harus berjaga-jaga di teras rumah. Kenapa aku merasa tidak berdaya? Hingga kini tubuhku kedinginan, Tapi hatiku terbakar.
*&*
Haurgeulis, 13 April 1989

No comments:

Post a Comment