Thursday, September 15, 2016

BARIDIN (Cerita Pendek)

 

Cerita Pendek Untung Gautara

S
emalaman dia datang padaku dalam mimpi. Dia menginginkan aku menghidupkannya kembali lewat cerpen. “Orang-orang Cirebon mulai melupakan aku. Padahal kisah cintaku dengan Suratminah tidak kalah tragis bila dibandingkan dengan kisah cintanya Rommy and Jully.” katanya waktu itu dengan wajah muram. “Gau kapan ya kisah cintaku difilmkan atau didramakan? Tapi sebelum semua itu terjadi maukah engkau menghidupkan aku dalam cerpenmu?” Aduh alaaa menghiba betul tuh suaramu Din! Begitu saja kok sedih dan pilu, gerutuku dalam hati!
            “Mengapa engkau memilih aku? Mengapa tidak memilih Nana Mulyana atau Made Casta atau Subagyo Madhari atau pengarang belia berbakat Tanti R Skober? Wah kamu kok kesel-kesel dari Cirebon datang ke Haurgeulis? Padahal di sana kan banyak penulis, iya kan?” tanyaku padanya.
            “Mereka belum pada tidur, sedangkan aku hanya bisa menemui mereka lewat mimpi. Lalu aku melayang-layang di angkasa. Mataku tak lepas-lepas memandang ke bawah. Kemudian aku melihatmu sedang tidur nyenyak. Maka…”
            “Ya aku sudah tahu kelanjutannya,kataku memotong pembicaraannya.
            “Lalu, apakah engkau mau memenuhi keinginanku?” tanya Baridin cemas.
            “Iya iya iyaaa!” jawabku jengkel. Soalnya sebelum tidur aku sangat mengharapkan dapat berjumpa dengan Mardiana, walaupun hanya dalam mimpi. Soalnya aku penasaran banget ingin melihat kecantikannya. Kata Kang Madhari  sang penulis novel itu sih amboi cantiknya. “Baridin! Malam ini aku tidak ingin bermimpi bertemu kamu! Pergil kau!”
            “Baiklah aku pergi. Selamat tidur,ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Manis juga senyumanmu Din. Pujiku dalam hati. Kemudian kulihat tubuhnya melayang-layang menembus langit-langit kamarku lalu hilang. Dia pergi kok meninggalkan keheranan di hatiku? Itu lho, diusir kok dia tersenyum. Ya Tuhan sampai hati betul aku mengusirnya. Untung saja dia tidak tersinggung. Kalau tersinggung sorry ya Din!
            Pagi harinya aku bukan lagi Untung Gautara, tapi Baridin. Sebab aku sedang memenuhi keinginan Baridin yang ia katakana tadi malam. Aku jadi Baridin cuma sebentar kok. Ya sampai Cerpen yang aku tulis selesai.
            Sebagai Baridin aku telah membunuh Markonah dengan pedangku yang tumpul. Sungguh mati aku tidak sengaja membunuhnya. Yang ingin kubunuh adalah seekor kucing garong yang telah menerkam burung perkututku. Burung perkutut itu burung kesayanganku. Oleh karena itulah aku marah besar pada si belang. Dengan membawa pedang pembabad rumput, aku mencari si belang di kebon pisang belakang rumah.
            Cahaya bulan purnamalah yang menemani aku mencari si kucing garong. Hampir selesai kebun pisang itu aku jelajahi dengan teliti,  aku berhenti mencari dan menduga-duga kalau si belang tidak bersembunyi di sini. Itu mungkin juga terjadi. Jadi aku harus mencarinya di tempat yang lain. Tapi tunggu itu ada semak-semak bergoyang-goyang. Pasti si belang ada di situ. Bangsat! Kau harus mati! Lalu dengan kemarahan yang meluap aku berlari menuju semak-semak itu dan mengayunkan pedang dengan keras berkali-kali. Aku baru berhenti mengayunkan pedang ketika ada orang yang menubruk diriku hingga jatuh.
            “Bangun kau!” bentak orang itu.
            “Mengapa kau menubrukku?” tanyaku marah.
            “Kau telah membunuh Markonah!” jawab orang itu pelan tapi menggeram ganas.
            “Jangan ngaco! Aku hanya membunuh kucing!” sangkalku tak kalah tegas. Tapi tidak kusangka orang tinggi besar brewokan itu menarik tubuhku.
            “Lihat itu!” perintahnya.
            Aku melihat ada tubuh telanjang bermandikan darah tergeletak di depanku. Setelah kuperhatikan wajahnya, ternyata dia memang Markonah si perempuan lacur.
            “Aku tidak membunuhnya!” kataku mengambang.
            “Lihatlah pedang di tanganmu itu Baridin!”
            Seketika lemas sekujur tubuhku. Karena ternyata pedangku berlumuran darah. Kini aku yakin bahwa aku telah membunuh Markonah.
“Meng, mengapa dia tidak menjerit ketika…?
            “Dia sempat menjerit kesakitan satu kali, lalu pingsan kemudian mati!” Jawabnya tegas.
            “Kau kejam! Kau tidak mencegahku!” kataku dengan perasaan tidak menentu.
            “Kau yang membunuhnya bukan aku! Jadi pantaskah aku disebut kejam? Kalau aku tidak segera mencegahmu, itu karena aku sibuk berpakaian!”
            “Oh aku tidak sengaja membunuhnya!” Sesalku dalam.
            “Omong kosong! Baridin, kau akan kulaporkan ke polisi!”
            “Jangan!”
            “Ok, aku diam. Tapi dengan syarat kau mau jadi temanku. Aku butuh teman untuk bersama-sama merampok!”
            “Aku tidak mau!” tolakku tegas.
            “Kau akan kulaporkan ke polisi! Kau akan dipenjara bertahun-tahun!”
            “Oh…” hatiku runtuh seperti daun luruh. “Baridin, kau akan kulaporkan ke polisi!”
            “Jangan!”
            “Ok, aku diam. Tapi dengan syarat kau mau jadi temanku. Aku butuh teman untuk bersama-sama merampok!”
            “Aku tidak mau!” Tolakku tegas.
            “Kau akan kulaporkan ke polisi! Kau akan dipenjara bertahun-tahun!”
            “Oh…”
            “Tidak ada pilihan lain Baridin. Kau harus ikut aku. Ayo!” ajak lelaki brewok itu seraya membalikkan badan dan melangkah pergi.
            “Tunggu dulu!” pintaku menghentikan langkahnya. “Siapa kau? Aku tidak mengenalmu tapi kau mengenalku.”
            “Siapa yang tidak mengenalmu Baridin? Kegilaan Suratminah membuat namamu terkenal! Kamu memang jago kemat. Tentang aku? Nanti juga kau tahu. Sekarang ayo kita pergi!” ajaknya memaksa.
            Aku terpaku memandangi kepergiannya. Di dalam hatiku ada keruwetan yang menjerat! Sekarang ini aku harus bagaimana? Mengikuti dia berarti jadi perampok. Tidak ikut dia, berarti aku akan di tangkap polisi dan di penjara. Oh tidak ada yang menyenangkan. Semuanya sama-sama menakutkan!
            “Ayo cepat!” bentaknya dari depan sana.
            Akupun melangkahkan kaki mengikuti lelaki itu. Kupikir aku harus segera mengambil keputusan. Dan keputusanku yang tergesa-gesa itu akan menjadikan aku seorang perampok. Yah apa dayaku saat ini? Tidak ada pilihan yang menyenangkan. Kalau Mbok Wangsi tahu, pastilah dia teramat kecewa. Tapi Mbok… aku tidak dapat membayangkanmu                  menangis melepaskan aku untuk dipenjara. Semoga saja engkau dapat menutupi rasa kehilanganmu atas kepergianku ini dengan ketabahan. Aku permisi Mbok.
            “Hei! Kau tidak membawa pedang itu?” tanya lelaki itu dengan mata terbelalak. Matanya lebar seperti matahari yang kini mulai terasa panasnya.
            “Untuk apa pedang tumpul dibawa-bawa?” kataku balik bertanya.
            “Goblok! Dengan adanya pedang itu didekat tubuh Markonah, mereka akan tahu kaulah pembunuhnya!”
            “Aku ambil pedang itu!”
            “Goblok! Kau mau menyerahkan diri dikeroyok massa hah?”
            Duh Mbok anakmu malang. Saat ini tentunya engkau sedang menangis menyesali perbuatanku. Aku tidak sengaja membunuhnya Mbok. Sungguh. Semula dengan kepergianku ini aku berharap engkau tidak akan tahu bahwa aku telah membunuh Markonah. Tapi kini oh maafkanlah anakmu. Anakmu terpaksa harus pergi jauh meninggalkan dirimu dalam ketuaaan. Membayangkan engkau menangis saja aku sedemikian trenyuh. Apalagi melihat secara langsung. Aku memang harus pergi agar engkau tidak melihatku dipukuli penduduk dan diborgol polisi.
            Lelaki berewok yang membawaku pergi itu kini telah kuketahui namanya. Namanya Segwan. Sekarang sudah hampir dua tahun aku bekerja sama dengannya dalam bidang rampok-merampok. Belum pernah sekalipun tertangkap polisi. Segwan sangat pandai mengatur siasat dan selalu dapat mengambil keputusan yang tepat disaat bahaya.
            Sebagai perampok yang tidak pernah gagal tentu saja aku mempunyai banyak uang. Aku sempat bingung dengan uang yang banyak itu. Lalu aku mengikuti jejak Segwan. Aku berikan uang itu kepada wanita-wanita lacur yang menghiburku. Aku menghamburkan uang itu bersama mereka. Lalu bahagiakah aku dengan kehidupan seperti itu? Tidak. Aku tidak pernah merasakan ketentraman dan kedamaian. Hatiku selalu gelisah. Aku selalu dikejar-kejar dosa. Mungkin kalau aku mencintai pekerjaan nista itu, aku dapat bahagia. Tapi aku tidak pernah dapat mencintainya. Aku selalu ingat pesan si Mbok agar aku menjadi orang baik-baik. Pesannya itu selalu terngiang di telingaku. Aku merasa berdosa sekali tidak memenuhi pesan si Mbok. Tapi, biarpun begitu aku belum juga bisa menolak ajakan Segwan untuk merampok.
            Suatu saat aku dan Segwan merampok rumah orang kaya. Ketika kami datang, ternyata kami hanya menemui seorang pembantu yang sudah tua. Segwan membunuh wanita tua itu karena tidak mau memberikan kunci-kunci lemari. Sejak saat itulah aku selalu bermenung diri. Aku selalu terbayang saat-saat Segwan menghujamkan pisau belati ke dada perempuan tua yang setua Mbok Wangsi. Betapa sedihnya nasib seperti itu. Duh Mbok… rasa rindu yang selama ini terebendung kurasakan semakin bergelora. Sekarang aku harus menemui si Mbok yang sangat mengasihi aku. Aku harus pergi tanpa minta izin Segwan. Dia selalu melarangku pulang dan menakut-nakuti aku dengan segala macam bahaya. Kini aku tak perduli dengan semua ancaman bahaya. Aku ingin mencium kaki si Mbok dan memeluknya. Ingin kulabuhkan segenap duka lara di dada ini. Mbok aku rindu. Sekarang ini mati pun aku mau asalkan telah melepas rindu denganmu.
            Aku tinggalkan Segwan yang sedang tidur berpelukan dengan seorang pelacur. Matahari belum menampakan sinarnya. Pagi masih buta. Udaranya dingin sekali. Segera aku kenakan jaket kulit hitam ke tubuhku. Rasa dingin menjadi berkurang. Langkah kaki kuayunkan cepat-cepat menuju terminal bus. Kuharap bus yang aku tumpangi nanti tidak mogok di jalan. Aku ingin sampai di kampungku   sebelum malam datang menjelang.
            Ternyata lalu lintas di jalan raya macet karena ada perbaikan jembatan. Keinginanku agar bisa sampai di kampungku sebelum malam datang musnah. Aku dan penumpang bus lainnya terpaksa tidur di dalam bus. Esok paginya bus baru berjalan lagi.
            Matahari sudah tidak begitu menyengat kulit, ketika aku sampai di perbatasan kampungku. Aku berpapasan dengan Suryana temanku samasa kecil. Kutanyakan kepadanya keadaan Mbok Wangsi. Suryana tidak menjawab pertanyaanku. Tapi dia mengajakku ke sebuah tempat. Aku bingung. Suryana mengajakku ke kuburan. Di depan makam yang masih baru, kami berhenti. Tanpa bicara sepatah pun Suryana meninggalkan aku. Aku semakin bingung. Kemudian aku mulai mengerti. Apalagi ketika mataku membaca tulisan di patok nisan. Aku menjerit alang kepalang. Si Mbok telah meninggal dunia. Mbok aku belum sedikitpun membalas kasih sayangmu. Aku menangis. Kupeluk makam si Mbok dengan perasaan luluh lantak. Rasanya aku ingin menyusulnya kealam baka.
            “Itu dia! Itu dia! Ayo serang! Ayo pukul! Ayo bunuh! Bunuuuuh!” tiba-tiba kudengar teriakan-teriakan yang mengerikan. “Dia pembunuh Markonah! Dia pemerkosa! Bunuh dia! Bunuh dia! Dia harus mati!” teriakan-teriakan itu semakin menggila.
            Aku tetap saja duduk di hadapan makam Mbok Wangsi. Dengan ikhlas akan kuterima kemarahan mereka. Hidup pun percuma. Orang yang ingin aku bahagiakan sudah tiada. Tentunya Mbok Wangsi sangat merana sebelum kematiannya. Oh aku berdosa. Aku berdosa. Yah pukullah aku dengan keras biar cepat mati. Yah begitu. Terus! Teruslah mengeroyokku sampai…
            Sampai Baridin berwajah setan datang. Dia melayang-layang di langit-langit kamar. Aku lari tunggang langgang. Entah sudah berapa kali aku menabrak pohon atau terjatuh dan bangun kembali. Suatu ketika Baridin berhasil menangkap tangan kananku. Aku berusaha melepaskan diri tapi Baridin seperti monster yang kuat sekali.
            “Baridin apa maumu? Aku sudah menghidupkanmu lewat cerpenku. Cerpen Baridin kemarin dimuat di koran. Kau tidak tahu berterimakasih!”
            “Hei suruh siapa kau jadikan aku perampok? Aku minta kau menulis kisah cintaku dengan Suratminah!”
            “Mana aku tahu! Ngomongmu tidak jelas!”
            “Hiaaaaaaa!”
            “Aaaaaaaa!” kurasakan diriku semakin lain dan menjadi benar-benar lain. Ternyata Baridin menitiskan diri pada tubuhku.


*&*
Haurgeulis, 21 Oktober 1989

No comments:

Post a Comment