Sunday, October 9, 2016

PEJUANG

 
Cerita Pendek: Untung Gautara
            “Tidaaak!” jerit Aki sambil meronta-ronta ketika seorang satpam dibantu dua orang dokter menangkapnya. “Aku tidak mau di sini! Biarkan aku pergi!” Aki mengerahkan segenap tenaganya untuk melepaskan diri. Tapi seorang dokter wanita segera datang dan tanpa basa-basi lagi langsung menyuntikan obat bius ke tubuh Aki. “Aku tidak mau di sini! Lepaskan! Aku bukan orang gila! Srikandi tolonglah aku! Aku tidak mau di sini…” jeritan Aki semakin melemah. Hingga akhirnya dia terkulai lemas tak sadarkan diri.
            Aki dibawa ke ruangan khusus. Aki dibaringkan sendirian ditemani dinding-dinding yang membisu. Sedangkan di koridor. dokter wanita tadi masih berdiri mematung.
            Malampun turun ke bumi tanpa rembulan atau gumintang. Gelap seakan sempurna. Karena listrik mati sejak jam lima sore tadi. Genset yang dipersiapkan untuk persiapan pengganti bila listrik mati, mendadak ngadat dan sedang diperbaiki para tekhnisi. Dengan penerangan sebatang lilin dokter wanita itu menjenguk Aki. Dia mendesah demi melihat dari kedua kelopak mata Aki yang terpejam merembes air mata. Entah karena apa dokter wanita itu pun meneteskan air mata. Sementara angin berdesauan di atas wuwungan rumah sakit. Sehelai daun akasia terlepas dari rantingnya melayang-layang dipermainkan angin dan jatuh di ambang pintu ruangan itu.

            Sementara itu, di sebuah gubug di tepi Hutan Haurgeulis, seorang wanita tua tertidur dengan bibir tersenyum. Tapi ketika petir menggelegar dia terbangun. Angin dingin berhembus kencang lewat jendela yang belum ditutup. Wanita tua itu tak perduli. Dia tercenung. Lalu dari getaran bibirnya sayup-sayup terdengar sebuah kata; Bupati. Dengan berurai air mata dia segera turun dari bale bambu itu. Dia mempersiapkan bekal. Dengan hati sedih juga penuh harapan ditinggalkannya gubug tempatnya bernaung selama ini. Ditemani obor yang nyalanya melambai-lambai ditiup angin, dia meniti harapan di tengah malam. Baru kali ini dia akan berpergian jauh setelah bertahun-tahun setia dalam penantian. Sementara hujan pun turun seperti air matanya.
“Aku memang sudah renta. Tetapi kesetiaanku yang bertahun-tahun itu tidak boleh sia-sia. Selain itu aku ingin melapangkan dada dengan bicara. Tetesan air hujan bukanlah rintangan bagiku.” Tekad batin Nini,  seraya mempercepat langkahnya. Padahal obor telah lama mati ditiup angin. Tapi Nini hapal benar jalan setapak di tepi hutan menuju ke perkampungan itu.
Dulu aku sinden tarling. Nini teringat masa silamnya. Kata orang suaraku merdu merayu. Kata orang wajahku sangat cantik. Kata orang tubuhku indah semampai. Juga kata orang  aku cerdik. Tapi kata ibuku aku bodoh. Karena aku menolak dijadikan gundik oleh seorang atasan tentara Jepang yang menjanjikan emas berlian. Juga karena aku memilih cape jadi sinden tarling sekaligus mata-mata tentara tanah airku.
Seorang dari banyak komandan yang sering aku bantu, kuketahui memiliki perasaan khusus padaku. Dia sering berkata bahwa tanpa keahlianku sebagai mata-mata, ratusan tentara juga penduduk sudah tak bernyawa. Dia menjuluki diriku Srikandi. Dan biar dia senang, aku memanggilnya Kang Arjuna. Aku senang bisa membuatnya senang. Aku senang melihat senyumnya yang menggoda. Dia memang sangat tampan, setampan Arjuna. Oh kami saling tertarik. Saling jatuh cinta. Aku memutuskan untuk rela diperistri olehnya walaupun harus menelan pil pahit; diusir oleh ibuku yang gila harta.
Tapi hanya seminggu kami bersama. Perjuangan membela tanah air mengharuskan kami berpisah. Kang Arjuna harus memimpin pasukannya untuk mempertahankan suatu daerah dari cengkraman tentara Jepang. Aku sendiri dipercaya untuk ikut mengamen di kota. Tentu saja dengan tugas utama sebagai mata-mata. Mungkin karena aku bisa nembang dan wajahku cantik.
Mungkin juga karena kecerdikanku maka aku berhasil menjadi mata-mata tanpa dicurigai tentara Jepang. Tanpa harus mengorbankan harga diriku sebagai seorang wanita. Hal itu membuatku sadar bahwa seorang wanitapun bisa lebih berarti dari sekompi tentara. Benar kata almarhum ayah. Dengan kelemahan fisikku sebagai wanita aku masih mampu menjadi pedang yang berbahaya bagi musuh. Menyadari hal itu aku jadi semakin berani dan bersemangat untuk membela tanah air dengan segenap kemampuanku. Akibatnya serbuan tentara Jepang selalu dapat dipatahkan atau paling tidak dihindari. Karena aku telah pontang-panting memberitahukan rencana tentara jepang pada tentara tanah air. Kemenangan demi kemenangan membuatku semakin bersemangat berjuang. Puncak kemenanganku adalah ketika antara atasan dengan wakilnya saling membunuh karena memperebutkan diriku. Tentara Jepang jadi tidak punya kepala. Bayangkan apa gunanya beribu prajurit Jepang tanpa pemimpin!
Lewat perjuangan yang gigih para pejuang dan rakyat, akhirnya kemerdekaan dapat diraih. Dengan senang hati aku kembali ke kampung yang telah kujanjikan dengan kang Arjuna. Di kampung itu, kami akan hidup rukun dan bahagia. Tapi sungguh tidak aku sangka. Orang-orang sekampung menyambut kedatanganku dengan sumpah serapah dan lemparan batu. Aku dikatakan mereka sebagai penghianat bangsa. Oh Tuhan aku disiksa oleh orang-orang yang aku bela mati-matian. Kalau aku selalu dapat menyelamatkan diri dari kekerasan tentara Jepang, kini aku tak mampu  menyelamatkan diri dari kesewenang-wenangan  bangsaku. Aku dikeroyok. Aku dihimpit. Oleh bangsaku sendiri kehormatanku dicabik-cabik. Setelah mereka puas menyiksa, aku dilemparkan kerumah ibuku yang gila harta. Walaupun aku darah dagingnya, penderitaanku tak membuatnya iba. Malah ketika tubuhku sedikit segar, dengan kejamnya dia menjualku. Aku direndahkannya dari seorang lelaki ke lelaki lain. Ibu kira aku sudah biasa melakukan perbuatan hina itu. Kang Arjunalah yang tau benar aku masih perawan suci di malam pertama. Walaupun aku adalah seorang sinden tarling yang juga malang-melintang sebagai mata-mata. Seringnya aku bergaul dengan orang-orang Jepang bukan berarti aku pelacur. Tapi karena aku mata-mata.
Maafkan aku Tuhan. Ternyata aku tidak cukup tabah kalau dijajah seperti itu. Aku pun sangat malu pada kang Arjuna. Akhirnya seorang pejuang bangsa memutuskan untuk bunuh diri dengan cara terjun ke sungai. Tak bisa kutanggung keironisan seorang pejuang yang terpuruk menjadi pelacur. Kalau aku mati pasti terbebas dari penderitaan yang hina dina ini. Tapi aku tidak mati. Ada orang yang menolongku. Rupanya aku harus terus mengalami getirnya dijajah bangsa sendiri. Perasaanku hancur. Pikiranku gelap. Ternyata kemerdekaan bangsa malah membuatku tidak bebas. Aku masih harus sembunyi atau menyamar agar tidak diketahui tukang pukul ibuku yang jadi mucikari itu. Di tepi hutan Haurgeulis aku membuat gubuk. Karena di hutan itulah kang Arjuna pernah bergerilya dan untuk pertama kalinya bertemu denganku. Aku selalu berharap dia akan datang ke sini. Aku yang kotor ini ingin mohon maaf. Perasaan Nini trenyuh. Masa silamnya terasa getir sekali.
“Mbok mau kemana?” tanya seorang kenek ketika Nini sampai di terminal Haur geulis.
“In… Indramayu nang!” balas Nini.
“Cepat naik mobil ini saja! Sebentar lagi berangkat! Cepat!” pinta kenek dengan mendorong tubuh Nini masuk kedalam mobil yang sudah penuh penumpang. Nini berdiri terbungkuk sendirian diantara orang-orang yang duduk. Tak lama kemudian mobilpun melaju. “Mbok Wangsi mau menengok cucu?” tanya kenek sambil menengadahkan tangan kanannya.
“Mau kerumah pak Bupati.” jawab Nini singkat seraya memberikan uang recehan seraya penjualan daun jati yang didapatnya dari hutan.
Si kenek memperhatikan Nini dari ujung rambut sampai ke ujung kaki dengan perasaan heran. Dia pun kemudian mencibir. “Mbok Wangsi jelek, ompong, peot, dan dekil jangan suka ngimpi!”
“Pak Bupati orangnya baik nang…” kening si kenek berkerut. Semakin berkerut ketika menghitung uang.    
“Kurang mbok Wangsi!” protesnya ketus. “Turun!”
“Turun?”
Nini melongo. Mobil berhenti. Dengan air mata yang tak tertahankan Nini terpaksa turun. Mobil kembali melaju. Hati Nini terasa tergilas. Sejenak dia diam lalu melangkah lagi. Wanita tua yang selalu dirundung nestafa itu mencoba nembang dalam hati untuk menghibur hatinya. Begitulah yang dia lakukan selama ini bila merasakan hatinya sangat sedih. Tapi tembang klasiknyapun tembang nelangsa…
“Duh pak Bupati… nelangsa temen nasib kula. Urip ning dunia sumampir sebatang kara. Langka sanak gegenduneng rasa. Langka kadang gandulaneng jiwa. Mmmm…”
Aki terjaga. Wanita yang tak pernah sedikitpun dia lupakan hadir kembali dalam mimpinya. Aki tercenung. Aki menyesal mengapa dia terbakar fitnah bahwa wanita yang sangat dikasihinya menjadi pelacur. Mesti aki menemui wanita korban fitnah itu dan berbicara dengan kepala dingin. Bila waktu itu mau menemuinya, tentu Aki dapat menolong wanita itu dan dia tak akan tersiksa oleh perasaan dosa seperti sekarang. Aki menangis terisak-isak.
Dari ambang pintu, dokter wanita ahli jiwa itu memandangi Aki tiada berkedip. Hatinya merasa iba. Dia mengerti bahwa Aki sangat tersiksa batinnya. Dokter wanita itu menarik nafas berat. Ingin rasanya menolong Aki. Ingin rasanya memberikan keterangan palsu bahwa Aki benar-benar gila. Agar Aki tidak dipenjara. Tapi dia sudah disumpah untuk selalu jujur.
“Pak polisi.” ketika polisi datang, dokter wanita itu pun harus memberikan keterangan. “Dia…tidak gila. Kalau dia sering menjerit-jerit, itu karena dia ingin melegakan dadanya yang dihimpit banyak masalah. Dia lelaki yang kalah.” akhirnya dia memenangkan kejujuran. Walaupun terasa sangat pahit sekali.    Aki mirip sekali dengan almarhum ayahnya. “Oh Aki hanya orang yang sangat menderita yang ketika tidur pun meneteskan air mata. Aki…” dia membatin. “Aki …” Lirih dia memanggil lelaki tua yang kedua tangannya telah diborgol dan digelandang polisi. “Aki…” dia terduduk lesu. “Kalau kau tidak dikalungi untaian bunga oleh negeri ini, aku tahu kaupun tak berharap. Tapi aku akan berusaha membawakanmu seseorang yang paling kau harap. Srikandi! Wanita yang selalu kau panggil dalam igauanmu.” Kemudian dokter wanita itu bangkit. Walaupun dia tak tahu harus ke mana mencari Srikandi, dia tetap melangkahkan kaki dengan kekerasan hati.
Aki dimasukkan ke dalam penjara. Seorang narapidana yang sudah tujuh belas tahun mendekam di situ menyambutnya dengan Tanya. “Kau dipenjara sekarang. Apa yang telah kau lakukan pada negeri ini?” Aki memandang narapidana itu dengan tatapan kuyu. Ada terbetik dia ingin menjawab. Tapi kemudian dia membatalkannya. Tak ada gunanya. Walaupun begitu, dia tetap menjadi ingat apa-apa yang telah dia lakukan. Sejak umur sebelas tahun hingga berumur dua puluh enam tahun, hidupnya untuk berjuang membela Ibu Pertiwi. Kedua kakinya pernah tertembak. Daun telinga kanannya sobek juga karena tertembak. Jiwa dan raga dia pertaruhkan untuk kemerdekaan negeri ini. Tapi barangkali itu ada artinya. Apalagi setelah negeri ini merdeka, dia tidak lagi dibakar semangat api perjuangan. Tapi dibakar api cemburu buta. Karena hasutan, hidupnya jadi tak tentu arah. Dilema cinta membuatnya patah semangat. Rapuh. Hanya karena wanita saja jatuh. Padahal teman-teman seperjuangannya saling berlomba untuk mendapatkan kursi jabatan yang empuk sekaligus basah. Dia ditinggalkan teman-temannya. Tak lama kemudian dia dilupakan.
Yang sangat memalukan adalah keterdamparannya di tempat pelacuran. Di tempat itu dia digendak atau dijadikan sebagai gigolo oleh seorang kupu-kupu malam yang cantik jelita. Tapi ketika dia diserang penyakit kotor, dengan jijik perempuan itu mendepaknya. Dia dicampakkan perempuan dalam keadaan menderita. Tapi karena ketampanannya segera hadir lagi seorang wanita dalam kehidupannya. Janda itu, mau menerimanya, mengobatinya, mencintainya, mengawininya, dan mencarikannya kedudukan yang empuk. Dia dimanja-manja. Tapi lama-kelamaan kemesraan itu pun berubah. Begitu pandainya wanita itu mengikat, meruntuhkan, hingga menguasai dirinya. Wanita yang baik dan cantik bagaikan Dewi Sumbadra, kini tabiatnya berubah seperti Dewi Durga. Arjuna tak berkutik dikendalikan Dewi Durga. Dia layaknya robot berbentuk manusia. Karena segudang hutang budi dan tiga orang anak membuat Arjuna mampu bertahan untuk selalu mengalah walaupun batinnya tersiksa.
Hingga pada suatu hari sebelum polisi datang menangkapnya dia merasa sangat gelisah. Karena tidak ada korban untuk di-caplok. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat. Akibatnya sepuluh kali bunyi burung jam itu seakan-akan memukul-mukul nafsu raksasanya. Dia mendengus kecewa sekaligus geram hingga dipukulnya meja. Dia meringis kesakitan. Ah! Dia merasa terkotak hingga sakit otak. Sementara dari ruangan anak buahnya terdengar peletak-peletuk anak catur menyodok kerobotan pagawai.
“Wuaaa!” masih terasa menikam jantung jeritan Dewi Durga yang protes atas skandal kadalnya dengan beberapa perempuan nyrenges. Arjuna melakukan semua itu sebagai protes pada perbuatan Dewi Durga yang seenak udel sendiri. Di samping itu biar sudah tua dia tetap buaya! Tapi dia ketakutan setengah mampus bila diprotes Dewi Durga yang punya kuasa dan the killer. Lain lagi bila mendengarkan protes orang kecil yang selalu ditenggak darahnya, diperas keringatnya, dan diambil sumsumnya dia tak punya telinga. Apalagi hati. Baginya tubuh-tubuh kurus dengan dengan tatapan mata kuyu itu adalah sampah busuk. Di mana raksasa cuma berpikir untuk mencarikan pelimbahan yang tepat untuk mereka. Kalaupun terdengar lagu-lagu merdu mereka, itu hanyalah angin yang berhembus.
Tak ada transaksi tanda tangan. Tak ada yang menangis minta katebelece. Dagangan tidak laku. Pasar sepi. Mungkin harga terlalu tinggi. Ataukah dukun-dukun sudah tak manjur? Dinding putih membisukan kesaksian kejahatan. Langit-langit putih juga membisukan dendam. Buku-buku arsip penyulapan meredam rintihan teraniaya. Hanya kain gorden yang bergerak dihembus angin. Bedebah! Padahal Dewi Durga menuntut banyak uang untuk membayar laki-laki muda kekasihnya. Kalau tidak, dia akan mengamuk. Oh Arjuna lelaki macam apa kamu? Lelaki yang merintih-rintih dijajah tapi kemudian merasa nikmat dijajah! Inilah bedebah!
Pintu diketuk. Tiga orang polisi menangkap Arjuna. Menangkap Pejuang yang menjadi koruptor. Menjadi penjahat ekonomi yang tega melindas orang kecil demi lapangan golf, hotel, supermarket, perumahan mewah, dan tetek bengek. Dia pejuang yang tak mempunyai keteguhan iman akhirnya tidak pernah meraih kemerdekaan. Karena dia akan tetap dijajah nafsunya.
Aki menangis terisak-isak. Menyesal tak pernah menuruti kata-kata Srikandi yang menjadi hati nuraninya selama ini. Oh Arjuna engkau tak lagi menjadi bos yang dipuji-puji, tapi Aki yang tak berarti.
Akhirnya Nini sampai juga di pintu gerbang rumah pak Bupati. Walaupun hatinya senang sampai ditujuan, tapi fisiknya sudah tak lagi memungkinkan. Di tengah malam yang dingin itu Nini jatuh pingsan. Manakala satpam datang, dikiranya wanita tua itu pengemis atau orang gila yang tertidur. Satpam itu menyeret Nini hingga ke dekat tempat sampah.
“Mengapa aku tergeletak seperti kucing budug di sini?” tanya Nini di dalam hati setelah beberapa saat siuman. “Oh…” Nini merasakan badannya sakit sekali. Biar begitu dia memaksakan diri untuk berdiri. “Aku akan manjadi tamu bapak Bupati. Dalam mimpi, beliau akan percaya dan yakin bahwa walaupun aku wanita, aku pernah ikut berjuang. Beliau akan percaya kalau aku pernah tunggang-langgang berpacu dengan waktu untuk memberitahu tentara tanah air juga penduduk agar segera mengungsi. Karena besok paginya Jepang akan menyerang kampung dengan bom. Aku butuh teman bicara yang tidak mencibir. Rindu teman yang dapat menghibur dan membesarkan hatiku. Hanya bapak Bupati harapanku. Dalam mimpiku beliau hadir sangat penyayang. Oh bapak Bupati selama ini aku diam. Selama ini aku setia. Selama ini aku tersia-sia…
Pintu gerbang dibuka. Suaranya mengagetkan Nini yang tidak jauh dari situ. Dada Nini berdebar-debar. Telapak kakinya yang melepuh dilangkahkan lagi. Tapi tiba-tiba ada rasa minder di hati Nini. Nini pesimis.
“Tadi aku tergeletak seperti kucing budug. Pejuang tidak ada harganya. Kastaku rendah. Aku tidak pantas. Oh Tuhan mestikah pejuang menceritakan perjuangnya? Mestikah? Oh Tuhan aku khawatir beliau mengira aku minta santunan,  pujian dan perhatian. Aku tidak minta apa-apa atas perjuanganku dahulu. Aku cuma ingin bicara tentang perjuangan zaman dahulu agar hatiku lega. Selain itu aku berharap bapak  Bupati tau kang Arjuna. Firasatku mengatakan kang Arjuna sedang menderita. Aku ingin menolongnya. Tapi kodrat wanita adalah menunggu. Begitukah? Oh kang Arjuna, aku selalu menunggumu. Aku akan tetap hidup sampai kau menemuiku. Pak Bupati tahukah engkau di mana kang Arjuna? Kau adalah putra sahabatnya. Kau pasti tahu. Oh…” Nini mengeluh. Dia melihat mobil keluar dari rumah itu. Nini yakin itu mobil bapak Bupati.  Nini mengejar mobil itu dengan sekuat tenaga. Suatu ketika dia terjatuh. Tapi sesaat kemudian Nini kembali mengejar. Nini merasa mendapatkan mukzizat tambahan tenaga. Dia merasa langkahnya ringan dan badannya terasa segar. Dengan kekuatan seperti ini Nini yakin akan mampu menemukan kang Arjuna sang pujaan hati. Nini tersenyum melayang-layang.

*&*
Haurgeulis, 21 Juni 1994
 

No comments:

Post a Comment