Cerita
Pendek: Untung Gautara
Langit
pagi ini bersih membiru. Seharusnya mampu menyejukkan hatiku. Tapi
pagi ini tidak. Karena tiba-tiba pikiran dan perasaanku terpaut pada
kabel-kabel aliran listrik yang terpentang ke sana ke mari. Padahal
bukan sekali ini aku melihatnya. Kabel-kabel itu kini kubenci sebagai
oknum kesemrawutan langitku. Terlebih-lebih lagi manakala kulihat
sekian layang-layang nyangkut tanpa bisa melepaskan diri. Alangkah
kejamnya kabel-kabel itu.
Segera
aku pulang. Sesampainya di rumah aku enggan masuk. Duduk sendirian
di teras.
Kulihat
melati yang kutanam bunganya telah mekar dan menebarkan wanginya.
Angin dikipasi dedaunan menerpa tubuhku semilir. Serumpun bambu tali
tumbuh di sebrang halaman rumahku seakan
berbisik-bisik melihat
kemurunganku. Aku membatin, “Hai bambu, pastilah engkau tak tahu
hasil dari bersepeda santaiku pagi ini. Ketahuilah bambu, aku merasa
sebagai layang-layang. Ingin terbang tinggi menggapai harapan yang
kugantung di langit tinggi. Tapi kabel-kabel itu. Kabel-kabel itu
yang pating
planteng ora karuan
itu menjegalku. Hingga aku hidup di antara langit dan bumi. Hidup
dalam penyiksaan. Dibakar mentari dan suatu ketika diguyur hujan. tak
ada yang perduli.
Sejak
pagi itu aku tak dapat lagi ikhlas menerima apa yang menimpa nasibku.
Sejak pagi itu pula aku menderita kegelisahan hidup yang
berkepanjangan. Terkadang dahiku ini terasa sangat panas karena
suntuk berpikir tiada menentu. Oh mengapa yang kudambakan begitu
susah kuraih? Mengapa yang tidak kuinginkan malah mengisi hidupku?
Mengapa orang lain begitu mudahnya memiliki segala yang kuangankan?
Rasa iriku terasa memuncak keubun-ubun. Aku ingin membunuh mereka!
Mereka telah mengobarkan api kecemburuan di hati ini.
Sungguh!
Aku ingin sekali membasmi kabel-kabel yang mengotori langitku. Tapi
ibuku, kakakku bahkan adikku yang masih kecil ikut-ikutan melarangku.
Mereka juga minta bantuan beberapa orang tetangga untuk mengikatku.
“Hei
apa-apaan ini? Mengapa aku diikat? Kalian sudah gila! Lepaskan aku!
Lepaskan!” pintaku seraya meronta-ronta sekuat tenaga. Tapi mereka
tidak memperdulikan aku. Mereka malah menatapku dengan tatapan aneh.
“Ibu lepaskan aku! Kakak lepaskan aku! Oh mengapa kalian tega
berbuat seperti ini padaku? Apa dosaku? Apa?” Aku terus
meronta-ronta hingga kehabisan tenaga, Orang-orang itu hanya bisa
melihatku seakan-akan aku ini tontonan. Mereka menikmati
penderitaanku sebagai hiburan. Setelah aku lunglai tiada berdaya,
mereka pergi meninggalkan aku. Bangsat!
Aku
disekap di kamar. Hanya adikku yang setia menemani. Sepasang mata
beningnya selalu berkaca-kaca. Aku jadi ikut menangis. Ingin kupeluk
dia. Tapi tangan dan kakiku terikat. “Adikku, salahkan aku jika
ingin membasmi kabel-kabel itu? Salahkan aku jika ingin membasmi
perintang cita-citaku?” tanyaku dengan perasaan sedih. Adikku diam
saja. Dia memandangi diriku. Kemudian pergi meninggalkan aku. Aku
maklum kalau dia tidak bisa menjawab pertanyaanku. Dia masih kecil.
Oh
apalah artinya hidup ini. Aku seorang pengangguran yang tak berguna.
Aku ingin bekerja. Tapi seribu surat lamaran yang aku ajukan tidak
membuahkan hasil. Aku benci. Mengapa hidupku penuh dengan rintangan?
Rintangan itu; kabel-kabel yang mengotori langit harapanku itu harus
kubasmi. Harus. Sekarang kebulatan tekadku tak terperi lagi. Hingga
tambang yang mengikat tubuhku kurasakan lepas dengan sendirinya.
Tentu saja aku senang. Sambil tertawa aku berlari menuju ke
perempatan jalan. Langit yang biru harus bersih dari kabel-kabel.
Kucopoti kabel-kabel itu satu persatu. Orang-orang kudengar
menjerit-jerit melarangku. Aku tidak perduli. Toh aku ini kebal
stroom.
Satu dua tiga kabel dapat kucopot. Tapi setiap kali aku berhasil
mencopot satu kabel, dengan sendirinya terpasang lagi kabel yang
baru. Lama-lama aku jadi jengkel. Dadaku bergemuruh marah. Dengan
geram aku menjerit. Mengamuk membabi buta memukul siapa saja dan
merusak apa saja. Akhirnya aku kelelahan dan terkulai tak sadarkan
diri. Ketika terjaga, bajingan! Ternyata aku masih disekap di kamar
dan terikat. Yang lebih sialan lagi, kini kurasakan bahwa langit yang
penuh kabel itu ada di kepalaku. Malah kurasakan pula dihatiku. Oh
jadi diriku ini…?
“Kalau
kabel-kabel itu dicopot, arus listrik harus lewat mana? Malam akan
gelap gulita tanpa lampu.”
“Biar!”
“Itu
katamu. Tapi kata orang lain beda.!”
“Aku
juga orang lain dari dirimu goblog!”
“Hanya
kau yang tidak menyukai kabel-kabel itu!”
“Jadi
aku korban tuduhan kalian ya?”
“Hidup
adalah pengorbanan. Jika jadi korban berlapang dadalah. Sebab suatu
saat gantian orang lain yang akan menjadi korbanmu. Zaman sekarang
ini tak usah ragu-ragu untuk main sikut. Bangkaikan saja hati
nuranimu!”
“Oh
aku ingin jadi orang kaya yang berkedudukan tinggi. Aku ingin jadi
orang kuat.”
“Bangkaikan
hati nuranimu!”
“Aku
tidak bisa!”
“Kalau
begitu percuma kau hidup. Bunuh diri sajalah!”
“Ya
aku ingin bunuh diri! Percuma aku hidup.”
“Diamlah
kak!” tiba-tiba kudengar suara adikku. “Kau bicara dengan siapa?”
tanyanya seraya duduk dihadapanku. “Aku tidak percaya kakak gila.
Aku tidak tega melihat kaka terikat begini.” lalu dia memotong
tambang yang mengikat tubuhku pada balok pasungan. “Setelah
kubebaskan, kakak jangan melakukan hal-hal yang memalukan lagi ya!”
“Memalukan?
Apa maksudmu?”
“Itu
kata ibu.”
“Memalukan
bagaimana?”
“Aku
kurang paham kak.”
“Terima-kasih.”
ucapku setelah semua tali dipotong. “Sekarang aku bebas. Aku akan
pergi!”
“Jangan
kak! Nanti aku dimarahi ibu.”
“Aku
pergi hanya sebentar.” jawabku seraya menghapus air mata adikku
dengan ibu jari tanganku. Ada perasaan tidak tega meninggalkannya.
Tapi aku harus pergi. Pergi ke alam bebas. Selamat tinggal adikku.
Kata
orang aku ini gila. Hidup sesuka hati sendiri. Tanpa orang lain.
Tempat tinggalku adalah tempat-tempat pelacuran. Pekerjaanku
menyakiti orang yang menjadi korbanku. Jangan ditanya sudah berapa
orang gadis menjdai korban kebiadabanku. Kutunjukkan pada dunia bahwa
aku ini penjahat sejati. Penjahat yang lahir dari rahim
kepedihan, kemiskinan dan kekecewaan hidup. Awas! Penderitaan manusia
dapat melahirkan srigala berbulu domba yang sangat buas. Seperti
diriku. Akulah raja kejahatan abad ini.
Dulu
aku adalah mimpi yang dikhianati mimpi. Karena doa-doa yang aku
panjatkan hilang tanpa krana.
Walaupun aku menangis meneteskan air mata darah, belum juga
kudapatkan pekerjaan. Aku disia-siakan. Aku diombang-ambingkan di
lautan penantian kemudian dihempaskan di pantai kekecewaan. Segala
keinginanku tak tergapai. Sampai bunuh diri pun selalu gagal. Mereka
dengan kejamnya menistakan aku dalam kenelangsaan hidup. Aku marah!
Aku dendam! Dan hanya dengan menjadi bajingan kemarahanku bisa
terbalaskan.
Kupikir
menjadi bajingan lebih mudah dari pada menjadi seorang santri. Tentu
saja santri yang setia kepada Tuhan. Setia? Apakah kesetiaan dan
penderitaan manusia masih mampu menggetarkan hati insan nuklir?
Seperti halnya kemiskinan masihkah mampu mengiris-iris perasaan
hingga trenyuh dan mengulurkan tangan? Kalau hanya trenyuh sesaat,
tanpa uluran tangan penuh kasih saying apalah artinya. Bah!
Barangkali
aku ini seorang sentimentil yang tersesat di rimba raya lalu
terjerumus ke jurang yang nista. Tapi sejauh ini belum dapat
kupastikan apakah aku telah berhasil membunuh hati nurani. Yang pasti
aku telah berhasil menjadi seorang raja penjahat. Tentu saja sebelum
sukses aku telah menjalani liku-liku hidup sebagai penjahat kelas
teri. Siapakah kini yang tidak miris mendengar namaku disebut? Akulah
orang gila yang di gembar-gemborkan tidak berperi kemanusiaan. Orang
gila yang jagoan, pintar, dan licin seperti belut. Aku memang gila.
Juga gila perempuan. Perempuan mana yang tidak senang berada dalam
pelukanku seorang pemuda rupawan berharta dan punya kekuasaan?
Kini
tengah kunanti seorang korbanku. Sejak aku pindah ke istanaku ini,
baru seratus orang gadis cantik yang menemani malam-malamku. Anak
buahku berjanji hari ini akan membawa seorang penyanyi cantik yang
sedang naik daun. Hm! Gadis ini menolak tawaran baik-baik anak
buahku. Kini dia diseret ke sini secara paksa. Seperti apakah dia?
Seruan
salam terdengar. Lalu pintu dibuka dari luar. Seorang anak buahku
mendorong gadis cantik hingga jatuh tersungkur. Lantas dia pergi.
Gadis itu bangkit. Matanya bulat memerah saga. Tajam menatapku penuh
dendam.
“Kau?”
Tiba-tiba dia terperangah.
“Aku
bajingan!”
“Anak
buahmu dapat menculikku! Dan kini aku yakin aku lebih pandai dari
polisi. Aku akan berhasil menangkapmu!” kata gadis itu tegas seraya
berdiri.
“Kau
bisa apa he?”
“Hm!
Aku serba bisa!”
Rasanya
aku ingin ketawa melihat kesombongan gadis ini. “He! Jangan
berlagak di depanku!” kataku mengancam.
“Kau
kira kau siapa? Aku tahu siapa kamu. Kau tak lebih dari seorang
laki-laki kerdil! Pengecut! Kau laki-laki rapuh! Kau bukan laki-laki
bahkan bukan manusia!”
Bajingan!
Gadis ini sudah keterlaluan. Biar kutampar dia. Tapi tatapan gadis
itu berubah lembut. Matanya berkaca-kaca. Hei mengapa aku jadi lemah
begini? Heran.
“Bertahun-tahun
aku mencarimu. Bertahun-tahun aku dilanda kecemasan akan
keselamatanmu. Kini aku menemukanmu…”
“Hei
apa yang kau katakan?”
“Yang
aku katakan adalah kenyataan. Bukan fantasi atau khayalan. Masih
belum ingatkah kau?”
“Bicaramu
semakin ngelantur! Kau gadis gila!”
“Dulu
aku tidak percaya kau gila. Tapi kini aku percaya kau memang gila.
Aku tidak akan melepaskanmu lagi. Kau memang pantas dipasung!”
“Hentikan
omonganmu!”
“Dengarlah!
Aku sudah membersihkan kabel-kabel dari langitmu. Aku sudah sarjana.
Akupun telah berhasil menjadi seorang penyanyi. Aku punya rumah,
mobil, sawah, dan kebun. Kau yang menginginkan aku berhasil seperti
ini. Cita-citamu tercapai. Doamu dikabulkan. Langitmu kini biru
bersih tanpa kabel.
“Kau?”
“Ya
akulah adikmu.”
“Kau?”
“Jangan
ragu-ragu tersenyumlah! Berbanggalah! Semua ini kupersembahkan
untukmu! Kau pantas menikmati keberhasilanmu membimbing seorang adik.
Kasih sayangmu kepadaku tidak sia-sia.”
“Oh…”
“Adikku?”
“Kakak!
Kakaaaak! Kakaaaak!”
Keesokan
harinya aku dilepas dari pasungan. Terlepas pula khayalku.
Kutinggalkan tubuhku yang kurus kering itu. Aku terbang ke alam lain.
Sebelum jauh aku melihat ke bawah. Kulihat ibu, kakak, dan adik
kecilku menangis. Semua yang hadir menangisi kepergianku. Padahal
kini aku gembira dapat terbang dan hinggap dari satu kabel ke kabel
yang lainnya menuju langit menggapai harapan.
*&*
Indramayu,
6 Maret 1996
No comments:
Post a Comment