Cerita
Pendek: Untung Gautara
Seorang
kiai muda merasa penyelidikannya telah usai. Noda hitam mencoreng wajahnya.
Bahkan mencoreng imannya. Isu itu ternyata benar; Banyak kiai yang terjerumus
ke dalam jurang kemaksiatan. Dilema itu menggayuti jiwanya. Untungnya
masyarakat masih mempercayainya. Bahkan menjadikan dirinya sebagai tumpuan
harapan untuk merombak tatanan kehidupan yang semrawut di kota ini menjadi aman
dan damai. Hal itulah yang mendorongnya bertekad akan meluruskan jalan para
kiai yang sedang tersesat. Tapi rupanya rencana tinggallah rencana. Karena
seorang lelaki yang mirip dirinya berdiri angker di ambang pintu masjid itu.
Tangan kanannya memegang pistol. Suaranya dingin dan berat memanggil nama kiai
muda. Kiai muda menengokkan kepala dan dor!
Kiai muda terkapar. Mayatnya
dimasukkan ke dalam mobil kijang dan dibawanya entah kemana. Seminggu kemudian
mobil kijang itu parkir lagi di halaman masjid At Taqwa. Setelah menurunkan
seorang penumpangnya, mobil itu melesat kesetanan. Orang yang diturunkannya
seperti kiai muda. Tapi nampak kebingungan. Baru bangun tidurkah dia? Siapakah
dia? Apakah arwah penasaran kiai muda?
Suasana dini hari nan lengang itu
menjadi riuh-rendah. Dari dalam masjid orang-orang keluar menyambut kiai muda.
Selama seminggu mereka berkabung. Noda darah pada permadani masjid membuat
mereka beranggapan bahwa kiai muda dibunuh orang. Polisi tidak menemukan
jejak-jejak pembunuhnya. Apalagi menemukan mayat kiai muda. Oh menyedihkan
sekali. Satu-satunya teladan hidup telah tiada. Pada siapa kami melabuhkan
keluh kesah kehidupan ini? Pada siapa kami meneduhkan kegersangan jiwa? Oh kiai
muda, tanpamu kota ini akan menjadi neraka. Oh kami menciap bagai anak ayam
kehilangan induknya. Begitulah kesedihan hati jamaah masjid itu beberapa saat
yang lalu. Kini, wajah neraka cerah. Teladan hidup hadir kembali. Kiai muda
yang sakti. Kiai muda yang mumpuni. Mereka mengangkat kiai muda dan
mengelu-elukannya. Jerit ketakutan kiai muda tenggelam dalam sorak-sorai
pengagumnya.
Waktu subuhpun tiba. Tapi tidak
seperti biasanya. Kini kiai muda tidak mau jadi imam. Tidak mau memimpin doa.
Juga tidak mau memberikan kuliah subuh. Dengan wajah muram kiai muda menjawab,
“Saya tidak bisa!”
Heran. Tapi keheranan itu mereka
hapus dengan pengertian bahwa kiai muda juga manusia yang tak luput dari salah,
dosa dan rasa cape. Tentu kiai muda sedang cape sehingga tidak sanggup
menjalankan aktifitasnya sehari-hari.
Rasanya masih kangen. Tapi
tanggungjawab mencari nafkah untuk anak istri membuat mereka terpaksa pulang.
Kini kiai muda sendirian. Dicobanya membuang kebingungan tapi gagal. Lalu dia
berjalan ke teras masjid. Menyandarkan tubuhnya ke sebuah tiang dan merenung.
Tapi terganggu. Dua orang lelaki setengah baya datang menghampirinya. Mereka
mengenakan jubah dan sorban putih bersih. Tutur kata mereka halus menyenangkan
hati. Hingga kiai muda mau diajak pergi.
Mereka jalan-jalan menikmati suasana
pagi. Burung-burung dan kupu-kupu berterbangan. Angin sejuk semilir
menerbangkan aroma wangi kembang-kembang. Kiai muda merasa sedikit lega. Tapi
ketika mereka sampai di perempatan jalan, orang-orang yang waktu subuh sholat
di rumah mereka masing-masing menghadang. Satu-persatu mereka menyalami bahkan
memeluk kiai muda dengan mata berkaca-kaca.
Suasana duka kembali menyekap
mereka. Namun doa yang dibasahi air mata tetap mereka panjatkan. Ya Allah
selamatkanlah kiai muda. Dia guru kami. Ya Allah… Ya Allah… Doa mereka ikhlas
sampai ke relung hati. Allah mengabulkan. Hanya seminggu lamanya kiai muda di rawat
di rumah sakit. Besok pagi akan dijemput pulang. Dan malam ini, seperti
biasanya Etin datang ke kamarnya.
“Kiai, malam ini malam perpisahan.”
“Ya terima-kasih atas kebaikkanmu
selama ini. Aku sangat terkesan padamu. Dalam waktu seminggu aku telah merasa
dekat denganmu. Tapi ketahuilah aku ini bukan kiai Mohamad Fajar. Aku Karsim.”
“Kiai?”
“Sebutan itu tidak pantas untuk
pemuda bodoh sepertiku.”
“Kau rendah hati kiai. Aku semakin
kagum padamu.”
“Etin…”
“Oh…”
Kiai muda mendekati perawat jelita itu.
Etin malu-malu dihampiri pemuda setampan kiai. Hatinya berdesir-desir. Karena
sesungguhnya mereka telah sama-sama jatuh cinta. Malam ini dendam kasmaran
tuntas dilampiaskan. Mereka lupa daratan.
Setelah semua terjadi, Etin menangis
menyesali diri. Kini dia tak punya mahkota lagi. “Kaukah kiai muda Mohamad
Fajar yang telah tega melakukan padaku?”
“Aku bukan kiai. Aku pemuda dari broken home yang prustasi karena pacarku
berpaling pada orang lain setelah tahu ibuku germo dan ayahku penjudi. Waktu
itu aku menabrakkan diri pada mobil yang berkecepatan tinggi. Kemudian
kutemukan diriku menjadi kiai. Aku tersiksa dengan menjadi kiai. Aku bukan orang
suci. Aku tidak bisa mengaji. Aku tidak bisa menjadi imam dam memberikan kuliah
subuh. Karena aku anak pelacur!”
“Kiai?” Etin terheran-heran.
Penyesalannya berangsur reda. Kini naluri keperawatannya muncul. Buru-buru dia
mengenakan pakaiannya. Setelah itu menempelkan telapak tangannya ke kening kiai
muda. “Panas! Kiai kau? Tapi aku tetap mencintaimu. Aku akan merawatmu. Oh Kiai
maafkan aku. Aku telah menodaimu. Kalau kau sehat pasti tak akan menyentuhku.
Oh Kiai jangan terlalu memikirkan kebobrokan moral kota ini! Kiai, aku jahat!
Aku mengotori kesucianmu!”
“Hentikan!”
“Kiai?”
“Telingaku sakit mendengar sebutan Kiai.
Sudah kubuktikan aku bukan Kiai. Aku si bangsat Karsim. Baik aku buktikan
lagi.” Ancam kiai muda. Lantas dia menarik Etin ke dalam pelukannya. Etin
diciuminya dengan kasar. Gadis itu menjerit-jerit ketakutan. Jeritannya
terdengar oleh teman-temannya. Mereka memburu ke kamar itu. Pintu mereka buka,
hingga mata mereka terbelalak.
“Oh!” Etin menghambur pada
teman-temannya. “Kiai gila! Tangkap dia! Suntik dia dengan obat penenang. Oh
luka diperutnya berdarah lagi. Ini salahku. Cepat tolong dia!” pinta Etin
cemas.
“Aku tidak gila! Aku bukan kiai! Aku
orang kotor! Jangan paksa aku menipu orang-orang shaleh itu! Hiaaa!” Kiai muda
berlari ke arah pintu dengan tubuh tak tertutup selembar benangpun. Hingga yang
melihatnya semakin yakin bahwa kiai gila.
“Satpaaam! Tangkap orang itu!” perintah
Etin pada satpam yang terkantuk-kantuk.
Satpam tetap terkantuk-kantu. Kiai
muda terus berlari tanpa rintangan. Jahitan luka di perutnya semakin deras
meneteskan darah. Tapi dia tidak perduli dan terus saja berlari. Di pintu
gerbang rumah sakit, terpaksa dia berhenti. Karena di hadapannya berdiri gagah
seorang lelaki memegang pistol. Pesss! Pistolnya ditembakkan. Asap putih tipis
mengepul menerpa wajah Kiai muda hingga terkulai tak sadarkan diri. Lelaki itu
menyeret Kiai muda dan memasukakannya pada mobil kijang. Sesaat kemudian mobil
itu melesat bagaikan terbang.
***
Di
rumah gembong panjahat Gautara, sepuluh orang perampok sedang menunggu tuannya.
Yang tubuhnya tinggi besar dan wajahnya berewokan berkata. “Jangankan yang
awam, kiainya saja dapat kita giring ke tempat-tempat maksiat. Bebek-bebek kita
laris. Obat-obat terlarang dagangan kita juga laris. Setan bersama kita.
Hahaha…!”
“Kiai
Mohamad Fajar, yang salama ini jadi penghalang telah mati kubunuh!” berkata
yang lainnya dengan nada bangga. “Sekarang kita leluasa. Kota ini sampai
perkampungan santri itu adalah wilayah kita.’
Sepuluh
orang perampok itu tertawa. Ketika seorang pemuda jangkung atletis masuk, tawa
mereka spontan berhenti. Kening pemuda tampan itu berkerut-kerut. Dia merasa
asing dengan ruangan itu. Dia berdiri bagaikan patung. Sepuluh orang perampok
mengira dia marah. Mereka bubar. Biarlah malam ini tidak operasi. Asal tidak
digampar bos.
Mamang,
pembantu yang masih berdiri di ambang pintu kembali melongo keheranan. Tapi
kemudian dia penuhi permintaan tuannya.
Mamang mengantar Gautara ke kamarnya. Di kamarnya tentu saja ada Mona
yang cantik dan sexy. Seminggu tidak
bertemu dengan Gautara, Mona kangen dan langsung memeluk kekasihnya itu.
Gautara kaget dan melepaskan diri dari pelukan Mona. Mona kecewa. Dia keluar
dari kamar itu sambil menangis.
Gautara
nglegleg. Keanehan demi keanehan
melanda kehidupannya. Kini dia tidak tahu siapa dirinya. Karsim pemuda
prustasi, Kiai muda Mohamad Fajar ataukah Gautara si gembong penjahat? Dengan
lesu Gautara mendekat ke cermin. Sudah lama dia tidak bercermin. “Hei!” Gautara
terbelalak. “Wajah tampan siapakah yang ada di dalam cermin itu? Oh aku
memiliki wajah Arjuna. Tapi hati dan pikiranku tetap milik Karsim. Bukan milik
Mohamad Fajar atau Gautara. Aku jadi ingat lelaki misterius itu. Tadi dia
mengantarku sampai di pintu gerbang rumah ini. Dia bagai bayangan. Malaikatkah
dia? Siapakah dia? Apu maunya? Apakah dia ingin mendalangi kehidupanku? Aku
bukan wayangnya. Aku tidak suka hidup begini!” rutuk kesal Gautara.
Esok
harinya Gautara memutuskan untuk berhenti menjadi gembong penjahat. Itu berarti
anak buahnya harus mengikuti pula keinsyafannya. Sejak hari itu mereka tidak
lagi mempunyai rumah-rumah pelacuran. Mereka tidak lagi berdagang obat-obat
terlarang. Tidak lagi merampok. Tidak lagi melakukan kekerasan. Mereka
tinggalkan dunia hitam dan kembali ke dunia yang di ridhoi Tuhan.
Gautara
yang dulu penjahat, kini dikenal sebagai seorang dermawan. Dia dihormati dan
dicintai banyak orang. Dia welas asih kepada anak-anak yatim piatu dan rakyat
kecil yang kesusahan. Bahkan bulan depan, dia dan sepuluh orang anak buahnya
akan menunaikan ibadah haji.
Sebelum
naik haji, hari ini Gautara datang ke sebuah rumah sakit untuk memastikan bahwa
hidupnya bukan mimpi. Dia menemui seorang dokter. Kepada dokter itu dia minta
dipanggilkan seorang perawat bernama Etin. Ternyata, hidupnya memang bukan
mimpi. Etin hadir lengkap dengan wajah bidadari dan senyum ramahnya. Setelah
berbasa-basi, Gautara menunjukkan bekas jahitan luka di perutnya. Etin
terkejut.
“Kau?”
“Karsim
Mohamad Fajar Gautara.”
“Kau?
Tidak!”
Kata-kata
Etin terputus karena tiba-tiba pintu dibuka orang. Wanita cantik bekas simpanan
Gautara menyeruak masuk. Matanya garang hatinya panas di bakar api cemburu.
Secepat kilat dia mengambil pistol dari tas kecilnya. Etin mengaduh dan
terkapar dengan dada bersimbah darah karena ditembus peluru.
“Mona
kau?”
“Kau
melukai hatiku!” jawab Mona dingin. Lalu dia menembak Gautara. Lelaki tampan
itu terjungkal. Mona terus menembakinya. Bahu dan paha Gautara mengucurkan
darah. “Hahaha…!” Mona tertawa gila.
Dor!
Tawa Mona berhenti seketika. Dokter bangkit dari duduknya. Pandangan matanya
Nampak kuyu tapi sesaat kemudian berkilat-kilat api angkara,
“Kelinci-kelinciku, aku dokter bedah plastik yang gagal!” keluh dokter itu
bagai bergumam. Lelaki itu kini meneteskan air mata lalu menembak kepalanya
sendiri.
*&*
Indramayu, 7
Februari 1995
No comments:
Post a Comment