Assalamualaikum warrohamatullahi wabarokatuhu,
Selamat pagi sobat bloger, insya Allah pada pagi ini admin akan menambahkan koleksi cerpen dari Dr. Untung Gautara. cerita yang sangat seru. berkisah tentang seorang kepala sekolah yang berkonfrontasi dengan bawahanya. bloger sudah tidak sabar untuk membaca tentunya, selamat menyimak.
PASRAH SAJALAH
Cerita
Pendek: Untung Gautara
“Guru,
digugu dan ditiru. Digugu itu petuahnya diyakini kebenarannya, hingga kalau
petuahnya dilaksanakan itu dijamin tidak menyalahi agama, hukum negara, juga
adat istiadat yang berlaku. Ditiru, ya ditauladani implementasi segala
petuahnya itu dalam sikap kesehariannya. Seperti itulah guru. Jadi saya mohon
bapak tidak sembarangan menerima orang yang melamar ke sekolah ini menjadi
guru.” guru yang satu ini selalu menjelaskan alasan dia protes. Alasan yang dia
kemukakan memang selalu masuk akal dan hati nuraniku mengiyakan kebenarannya.
Tapi aku merasa gengsi untuk mengakui kebenaran itu.
“Yah
itukan menurut pak Lucky.” akhirnya aku mengatakan kalimat yang didoktrinkan
istriku bila aku berdebat dengan pak Lucky dan terpojok.“ kebenaran menurut
saya yah tidak seperti itu yah.”
“Pak!” sudah kuduga pak Lucky akan menyambar
pembelaanku dan akan menyampaikan argumentasi-argumentasi yang membuatku
puyeng. “Benar itu kebenaran menurutku. Tapi omonganku berdasarkan pendidikan
yang aku terima selama sekolah, ditambah referensi buku-buku yang ditulis
orang-orang besar di dunia pendidikan. Kebenaran ya kebenaran. Putih ya putih.
Orang yang waras akan jelas melihat kebenaran atau warna putih. Kalau masih
bingung dengan kebenaran agama kita punya Al-Qur’an juga Al-hadist. Negara kita
punya undang-undang. Di situ semua jelas kebenaran ya kebenaran. Tidak samar
dan tidak kabur. Terlepas dari semua itu Tuhan menganugerahi kita hati nurani
untuk mengatakan kebenaran. Kalau gurunya saja bingung apa itu kebenaran,
bagaimana dia mengajarkan kebimbangan tentang kebenaran?”
“Benar.
Tapi kalau belajarnya dari nol besar terima saja dia jadi murid! Apa bapak
tidak tahu murid-murid kita mengeluhkan tentang kualitas guru-guru di sekolah
ini? Dari lima guru produktif hanya satu yang menguasai materi. Yang lainnya
disebut oleh murid-murid sebagai guru plonger.
Guru yang kalau ditanya oleh muridnya selalu menjawab tidak tahu.”
“Anak-anak
harus maklum yah sekolah kita baru merintis yah.”
“Pak,
bukan masalah masih merintis atau sudah maju. Masalahnya bapak menggampangkan
masalah dan tidak mau sedikit cape. Sebenarnya kita bisa mencari guru yang
berkualitas itu! Kita bisa bertanggungjawab pada amanah kita sebagai guru untuk
mendidik generasi kita secara maksimal sesuai dengan kemampuan kita.”
“Yah
kemampuan saya cuma segini.”
“Astaghfirullah haladzim… Bapak belum
melangkah setapakpun, belum meng-interview
calon guru sedikit pun sudah bilang kemampuan saya cuma segini?”
Pak
Lucky permisi. Kulihat wajahnya memerah marah. Aku sendiri sudah teramat puyeng
berbicara dengan dia. Dia terlalu rewel
untuk berdebat denganku. Padahal aku kepala sekolah di sini yang mestinya jauh
lebih rewel dari dia. Aku tuh tidak
mau pusing, jadi ketika Rizky dan Trisno mohon untuk menerima
saudara-saudaranya jadi guru honor di sekolah ini. Tanpa pikir panjang apalagi
wawancara ini itu aku terima saja. Kalau kemudian mereka jadi guru plonger yah mau bagaimana lagi yah?
Pak
Lucky itu selalu saja berupaya mencerdaskan, mendisiplinkan, dan meluruskan
prilaku murid-murid SMK Negeri 1 Lontar. Dia itu paling rajin. Paling disiplin.
Paling perhatian ke muriid-murid. Sehingga tak heran kalo sebagian besar murid
dekat dengan dia. Pertama kali aku bertemu dengannya aku juga mengakui
kharismanya. Aku juga dekat dengannya. Dia kuminta mengajariku pidato, memberi
tahu cara meng-handle rapat, juga
membantuku memutuskan masalah. Tapi lama-lama aku gerah dan tidak nyaman dengannya.
Dari hatiku terdalam aku iri dengan sosoknya. Dia serba bisa. Hingga
murid-murid dekat dengan dia. Guru-guru dekat dengan dia. Mereka mendengar
kata-katanya. Aku kan kepala sekolah di sini. Mestinya murid dan guru dekatnya
padaku. Bukan kepadanya.
“Bapak
kan kepala sekolah di sini. Jadi jangan dengarkan pak Lucky!”
“Benar
pak. kami mendukung segala keputusan bapak. Kalau pak Lucky macam-macam kita
ada bersama bapak. Sekolah ini tanpa pak Lucky tetap akan maju. Dia tak ada
artinya apa-apa.”
Aku
bersorak dalam hati. Aku yakin guru seperti pak Rizky dan pak Trisno yang cocok
denganku. Guru yang tak kalah cerdas dengan pak Lucky tapi selalu manut padaku.
Slalu membuatku senang. Tidak seperti pak Lucky yang suka protes dan lebih
cenderung pro murid. Mana loyalitasnya kepada atasan?
Kami
bertiga kemudian membuat rencana untuk memajukan SMK Negeri 1 Lontar. Kami
bertiga sepakat untuk tahun pelajaran 2008-2009 akan menerima siswa baru
delapan kelas atau 240 murid. Itu hebat! Fantastik! Di sisi lain banyak murid
berarti banyak pula uang daftar ulang yang bisa kutilep dan kumasukan ke
sakuku. Pak Rizky dan pak Trisno pastilah kuberi bagian. Kan mereka yang
bekerja.
Guru-guru
pada protes.
Murid-murid
juga protes cuekin aja!
Pak
Lucky tentu protes juga.
Kuanggap
angin lalu. Aku sudah tidak pakai dia!
Tapi
kurang ajar! Pak Lucky mengirimkan angket guru-guru dan murid-murid ke
pengawas. Mereka mengadukan dedikasi kepemimpinanku hingga aku dimarahi
pengawas. Aku panggil pak Lucky ke kantor.
“Yah
Pak Lucky, saya dimarahi pengawas.” kataku cemas. Tak bisa menyembunyikan
ketakutanku. Aku takut didemo masyarakat atau dipindahkan tanpa hormat.
“Masalah Prakerin kan yah ada panitianya. Kalau tahun ini berantakan kan bisa
diperbaiki tahun depan. Tentang penerimaan siswa baru itu kan yah keputusan
dinas. Pak Lucky jahat sekali.”
“Tentang
Prakerin, saya sudah mengingatkan bapak jangan sembarangan mempercayakan
kepanitiaan kepada orang yang pinter ngomong tapi tidak becus bekerja. Mereka
ambisi jadi panitia dengan satu tujuan uang. Tapi bapak maksa ya jadinya
begini. Kemudian perihal saya melaporkan bapak ke pengawas itu karena antara
bapak dengan saya, guru-guru, dan murid-murid sudah tidak bisa berkomunikasi
lagi. Omongan kami sudah tak didengar bapak lagi. Sementara kami ketakutan
dengan rencana penerimaan siswa baru. Prediksi kami, kalau rencana itu
terealisasi, sekolah ini akan hancur!”
“Itu
keputusan dinas.”
“Pak
kalau mau menipu atau sekedar bohong, mungkin bisa ke murid atau guru-guru yang
masih hijau. Mana ada dinas maksa begitu. Apalagi di kecamatan ini baru
didirikan SMA. Bagi-bagi murid kenapa biar sama-sama maju. Dinas pasti dukung itu.
Kita memang ingin maju. Tapi maju itu pakai otak. Jangan kuantitas diutamakan.
Utamakan dulu kualitas. Apakah sekolah kita sudah berkualitas? Selama ini
belajar mengajar keteteran. Karena guru-gurunya malas menyebabkan anak-anak
baru masuk kelas jam delapan. Jam Sembilan sudah mulai pulang dan jam sebelas
sekolah sudah sepi. Sekolah berantakan.”
“Itu
karena pak Lucky mengundurkan diri jadi Wakasek Kesiswaan.”
“Kok
jadi saya yang salah? Saya mengundurkan diri karena bapak sudah tidak mau
kooperatif lagi dengan saya. Buktinya ketika saya mengundurkan diri bapak
langusng merespon dan mengiyakan dengan sms.”
“Yah
pakai sms atau apa saja kan sama.”
“Oh
etikanya begitu ya pak? Tidak usah ditanyakan sebab musababnya? Tidak diajak
ngomong baik-baik dulu begitu? Masalah penting cukup diputuskan lewat sms.”
“Yah
iya gampang. Kan teknologi sudah maju yah. Yah sekarang saya mah pasrah
sajalah.”
“Kok
pasrah?”
“Yah
mau bagaimana lagi yah?”
“Saya
melaporkan bapak ke pengawas, lebih tepatnya minta tolong ke pengawas dengan
maksud untuk perbaikan sekolah ini. Harapan saya kalau pengawas yang ngomong
bapak menghargai. Eh bapak malah bilang pasrah? Heran, kok pasrah? Yang mesti
bapak segera lakukan adalah memperbaiki sekolah ini. Terutama pada kedisiplinan
guru dan siswa. Terutama lagi buat kelima wakasek bapak itu agar rajin
mengajar. Guru-guru honor menjadi malas karena terpengaruh oleh kelima wakasek
bapak yang males itu. Insyaallah saya
bisa bantu! Kalau bapak melakukan perbaikan, pasti pengawas tidak akan marah.”
Kupikir
pendapat pak Lucky benar. Dan saya yakin maksudnya melapor ke pengawas bukan
untuk mencelakakan aku tapi semata untuk perbaikan sekolah. Tapi ketika aku
menceritakannya pada istriku, istriku memaksaku menemui koordinator pengawas di
Mulyabarang. Di sana istriku menjelek-jelekkan pak Lucky. Dia mengatakan pak
Lucky itu memang cerdas tapi malas dan sering lupa porsinya sebagai guru dan sok
mengatur kepala sekolah. Aku tahu itu tidak benar. Yang benar adalah pak Lucky
guru yang rajin dan selalu usul atau protes dengan menyertakan
argumentasi-argumentasi yang masuk akal tapi membuatku puyeng. Kalau aku sudah
sangat puyeng aku suka menilai negatif pak Lucky selalu memaksaku. Yah tapi
istriku sudah bilang begitu. Saya mestti bagaimana?
Sesuai
janji via telephone, Jum’at sore pak
Lucky datang ke rumah. Dia bela-belain naik motor dari Lontar ke Dharmajaya
kurang lebih pulang pergi 120 km untuk meng-clear-kan
masalah. Aku iya-iya saja. Kata istriku cukup begitu saja. Pak Lucky kembali
menjelaskan panjang lebar tentang usaha perbaikan sekolah terutama pada
kedisiplinan murid dan guru. Aku iya-iya saja. Begitupun ketika pak Lucky minta
maaf, aku iya-iya saja.
Sesuai
janjinya, hari Senin Koordinator
Pengawas Haji Adung Warnudin datang. Pak Lucky sudah direkayasa oleh Pak Rizky
agar tidak datang dengan tidak memberinya jadwal mengawas tes semester. Pada
pertemuan itu Pak Haji Adung berjanji akan memutasikan guru males macam pak
Lucky. Alhamdulillah tidak ada guru
yang protes. Mereka takut.
Tapi
pak Lucky kok tidak dimutasi ke lain sekolah ya? Padahal dia sudah
dijelek-jelekan ke Koordinator Pengawas bahkan sudah dipanggil Kepala Seksi Kepegawaian
Dikmenum Dinas Pendidikan Kabupaten Dharmajaya. Wah padahal aku sudah males
berhadapan dengan dia. Dimutasikan tidak bisa. Terus diapain?”
“Jangan
kasih jabatan apapun!” jawab istriku ketika ditanya olehku.
“Jadikan
dia sampah hingga tak ada satupun alasan lagi berhubungan denganmu. Biar dia
tahu rasa. Coba dia bisa apa? Sok pinter!”
“Jatuhkan
mentalnya! Bunuh karakternya!” usul pak Sutrisno semangat.
“Kita
teror dia dengan fitnah! Kita cari kelemahannya! Kita serang hingga mentalnya
ambruk!” papar pak Rizky berapi-api.
Sebenarnya
aku ngeri mendengar usul istriku, pak Rizky, dan pak Sutrisno. Menurutku itu
jahat. Tidak selayaknya pak Lucky dijahati, karena sebenarnya di dasar lubuk
hatiku aku mengakui kebenarannya. Cuma, bagaimana yah istriku dan kedua wakilku
mengusulkan begitu. Jadinya ketika tahun ajaran baru kujadikan pak Lucky
sampah. Teror untuk menjatuhkan mentalnya juga dilancarkan. Dia kufitnah
korupsi uang koperasi dan uang pembangunan mushola. Fitnahnya kuumumkan ke
murid-murid, guru-guru, dan para pengawas. Dia juga kupaksa mengikuti rapat
sekolah karena setelah kusampahkan dia tidak pernah mengikuti rapat. Itu
ususlan pak Rizky dan pak Sutrisno. Sebenarnya kami ingin menghinakan pak Lucky
di acara rapat. Biar dia mati kutu.
“Bapak
harus ikut rapat yah! Harus! Mereka protes!”
“Rapat?
Memangnya saya masih anggota keluarga SMK Negeri 1 Lontar?”
“Lho?”
aku bingung. Aku tidak menyangka pak Lucky akan berbalik tanya seperti itu.
Ngomong apa ya? Wah kenapa pak Rizky, pak Sutrisno, atau istriku tidak membekaliku
jawaban untuk kemungkinan pertanyaan begini? “Ya masih yah.” jawabanku asal
ketemu.
“Kalau
masih jadi anggota keluarga SMK Negeri 1 Lontar, kenapa dipermalukan seperti
sampah?”
“Saya
tidak mempermalukan bapak seperti sampah.”
“Jawaban
jadi wakil kepala sekolah tentu aku sendiri tidak berminat. Tapi jadi wali
kelas saja tidak. Bahkan hak sebagai guru Bahasa Indonesia juga disepelekan.
Kalau guru honor yang baru keluar dari kuliahnya itu tidak menolak, bukankah
aku ditugaskan ngajar di kelas sebelas? Apa bapak tidak tahu murid-murid kita
itu sangar. Banyak guru pemula menangis. Banyak guru pemula dipermainkan murid?
Lalu bagaimana pertimbangan Bapak untuk ujian nasional? Bapak tuh memutuskan
permasalahan asal geprak saja! Tidak
pakai pikiran apa ya? Saya ngerti bapak ingin mempermalukan saya dihadapan guru
dan murid.”
“Lho
itukan yah karena perbuatan pak Lucky sendiri.”
“Perbuatan
saya yang mana? Melaporkan Bapak ke pengawas? Bukannya saya sudah menjelaskan
berkali-kali dan minta maaf berkali-kali? Bapak masih mendendam?”
“Untuk
apa dendam? Cape yah. Saya tidak mau kejadian waktu ujian nasional terjadi
lagi.”
“Oh
karena kejadian itu. Sekrang saya tanya ke Bapak. Siapa yang mendobrak pintu
lab komputer yang sementara dijadikan posko team sukses ujian nasional? Pak
Rizky dan Pak Sutrisno. Siapa yang membocorkan jawaban ujian nasional kepada
anak-anak? Mereka juga. Siapa yang berlagak preman? Siapa yang melarang saya
hadir ke sekolah mensuport anak-anak agar tenang mengerjakan soal-soal ujian
nasional dengan teror sms padaku? Mereka. Kenapa jadi saya yang dihukum? Lalu
tentang fitnah bahwa saya korupsi uang koperasi dan uang pembangunan musholla,
bagini saja, kalau bapak yakin dan punya bukti saya korupsi, laporkan saja ke
polisi. Perlu bapak ketahui saya tidak takut karena saya tidak pernah korupsi.
Saya tidak cari musuh tapi kalau musuh datang pasti saya hadapi. Satu lagi pak
mohon diingat bahwa bapak sangat menyakiti hati saya. Semua ada balasannya.
Tidak usah menunggu di akherat, azab dunia juga ada. Jangan lupa itu.”
Aduh
ngeri sekali berurusan dengan polisi. Tapi tentu lebih ngeri azab dunia. Iya
sih sebenarnya pak Lucky tidak salah. Tapi bagaimana ya kedua wakilku, juga
istriku menyarankan aku begitu. Di sisi lain aku juga tidak suka pak Lucky
karena dia selalu berargumentasi. Walaupun kuakui argumentasinya benar. Tapi
aku jadi terpojok. Malu. Masa kepala sekolah dipermalukan seperti ini? Kenapa sih selalu pro murid?
Padahal kalau pro kepala sekolah dia akan banjir uang seperti para wakil kepala
sekolah sekarang. Mereka asal manut tidak usah rajin ngajar juga tidak apa-apa.
Makan gaji buta juga tidak masalah. Rasakan sekarang pak Lucky tidak dapat
insentif apa-apa kecuali insentif jam wajib ngajarnya dia sebagai PNS. Emang
enak melawan kepala sekolah?
Antara
pak Lucky dengan saya sepertinya memang jauh berbeda. Bagi saya sih enjoy sajalah ngajar murid. Jangan
serius cape. Karena menurut saya hidup tuh tidak usah cerdas. Buktinya saya
yang tidak cerdas bisa jadi kepala sekolah.
Orang sih asal nurut dijamin karirnya lancar. Orang seperti pak Lucky
mana bisa karirnya lancar. Kata istriku dan kedua wakilku, nanti kalau pak
Lucky minta tanda tangan untuk kepentingan karirnya, aku harus menekan dia
habis-habisan. Kalau perlu buat dia menghiba-hiba. Biar tahu rasa. Prebedaan
lainnya, aku tidak perdulian, masa bodo, toh murid itu orang lain. Kalau sudah
lulus lupa pada guru. Kemudian guru honor juga orang lain. Kenapa mesti
perhatian sama guru honor? Kalau aku pindah tugas mereka pasti lupa. Kalau aku
sudah enjoy dengan diriku sendiri kenapa mesti memenuhi keinginan orang lain?
Syukurlah
sepertinya upaya membuatnya sampah dan teror untuk menjatuhkannya berhasil. Pak
Lucky tidak terdengar lagi aktifitasnya. Dia hanya ngajar 24 jam pelajaran setelah
itu pulang. Aku tidak lagi dipusingkan dengan segala argumentasinya. Dia ada
tapi sepi dan lenyap begitu saja. Syukurlah. Tapi dia itu cerdas. Aktifis.
Waduh jangan-jangan air tenang menghanyutkan. Akupun cari info. Dan legalah
hatiku, informanku bilang pak Lucky sementara waktu ini tidak akan aktif di
sekolah karena sedang sibuk mengurusi sanggar sastranya yang mau lounching buku kumpulan puisinya dengan
kedua rekan penyairnya. Judul bukunya “Sebelum Terbang”. Katanya berisi tentang
kritikan pada dunia politik dan dunia pendidikan.
Huh
aku sih perduli amat dengan kualitas dunia pendidikan. Yang penting bagiku
melaksanakan proyek pembangunan gedung-gedung baru dan mengaturnya seketat
mungkin agar aku dapat keuntungan yang banyak. Terus ganti mobil dengan yang
lebih bagus. Terus punya investasi tanah kapling yang banyak untuk menjamin
hidupku sekeluarga di masa depan. Tapi ternyata kepalaku tak berhenti pusing.
Hatiku tak berhenti sedih. Ayahku meninggal dunia. Padahal aku belum puas
membahagiakannya. Belum hilang masa berkabung, anak pertamaku menabrak orang.
Anakku tangannya patah dan motornya rusak berat. Yang ditabrak luka parah.
Motornya juga ringsek. Pihak orang tua korban tabrakan menuntutku membiayai
biaya pengobatan, ganti motor, dan tentunya yang sangat besar karena anaknya
menjadi cacat. Kepalaku pusing sekali. Darimana aku mendapatkan uang sebesar
itu. Sementara istriku rewelnya minta ampun. Dia minta agar aku segera memenuhi
tuntutan orang tua pihak korban karena pihak korban mengancam akan memperkarakannya
secara hukum perdata juga pidana. Sudah diberi uang enam juta masih kurang!
Minta motornya diganti. Minta uang kompensasi cacat. Belum lagi uang untuk
polisi. Aduh kepalaku rasanya mau pecah. Pusiiing!”
“Mas
cepat mana uangnya? Kalau terlambat nanti anak kita dipenjara!” ya begitulah
istriku selalu memaksa. Dihadapannya aku ini seperti robot. Dianggapnya tidak
punya perasaan. Diatur-atur seenaknya sendiri. Makanya kalau disekolah aku anti
diatur-atur guru. Oleh atasan juga aku mau nurut kalau di depannya saja. Tapi
bagaimana ya biar istriku berhenti marah-marah? Uuuh inikah salah satu azab
dunia. Punya istri penindas. “Mas pakai uang apa saja!”
“Uang
kita sudah habis untuk nyogok promosimu jadi kepala sekolah SMP! Tujuh puluh
juta rupiah dan ganti mobil baru! Apa mobil kita jual lagi?”
“Mas
Suwandi ampun! Jangan bodoh! Bisa hilang gengsi kita! Pakai uang sekolah saja!”
“Itu
berbahaya! Aku takut! Ini korupsi!”
“Kamu
mau anak kita masuk penjara? Orang tua pihak korban itu bukan orang sembarangan!
Cepat Mas!”
Apa
boleh buat, untuk kesekian kalinya tilap-tilep, sulap-sulap ngembat uang
sekolah. Gampang. Kayanya inilah bakatku. Kuharap aku tidak pusing lagi. Tapi
baru saja aku memberikan uang itu pada istriku, aku dikirimi sms oleh seorang
siswa yang mengancamku akan demo bersama teman-temannya bila sekolah tidak
didisiplinkan. Baru saja selesai membaca sms itu, orang dinas menelpon. Katanya
aku diminta datang ke kantor untuk dimintai pertanggungjawaban karena ada surat
pengaduan dari orang tua wali murid bahwa SMK Negeri 1 Lontar menelantarkan
siswa-siswinya. Aduh bagaimana ini? Aku takut sekali. Jangan-jangan aku dipecat
atau dipindah tugasnya tanpa hormat. Biasanya kalau ada masalah aku nyogok agar
dibela. Tapi aku lagi tidak punya uang. Aduh aduh aduh aku pasrah sajalah.
*&*
Pilang, Juli 2007
No comments:
Post a Comment