Cerita
Pendek: Untung Gautara
Sudah
lama aku sadar bahwa aku harus nakal. Tapi aku belum juga bisa nakal. Hati
nuraniku ini kolot dan tidak bisa diajak kompromi. Hati nuraniku selalu saja
melarang, “Jangan! Jangan! Itu dosa!” aduh akibatnya aku sering dimarahi bapak.
Aku sering meratapi nasibku yang buruk ini. Oala…
“Kamu
bisa berhasil seperti mereka.” kata setan merongrong keimananku. “Kamu pandai
segala macam. Manfaatkan kepandaianmu!”
“Aku
tidak bisa…”
“Goblok!
Hatimu lembek seperti kerupuk kesiram air! Goblok! Ya sudah nikmati
kemelaratanmu!”
Yah,
aku harus bagaimana? Aku memang ingin hidup berkecukupan. Tapi aku tidak bisa
usaha. Aku tidak mau dagang. Karena pedagang pandai berbohong. Aku tidak mau
jadi pegawai, karena pegawai suka korupsi duit dan waktu. Leha-leha makan gaji buta. Juga tidak mau jadi seniman. Seniman
dekat dengan setan. Aku tidak mau menyinggung apalagi menyakiti hati orang lain
hanya karena nafsu duniawi. Aku pasrah sajalah pada nasib. Tapi benarkah aku
pasrah? Oh, aku bingung.
“Bingung-bingung
tai kucing!” maki bapakku sepulang menarik becak. “Wis kaplak mencari sebatang rokok untuk mlepus sendiri saja tidak becus! Si Raswin sedang sakit. Becaknya
nganggur. Kau sewa saja becaknya untuk cari duit!”
“Tidak!”
jawabanku tegas. “Tukang becak terkenal rakus. Perjanjiannya tujuh ratus,
diberi uang seribu alasannya tidak ada pengembaliaannya. Pendusta. Serakah. Aku
tidak mau jadi tukang becak!”
“Kamu
menghina tukang becak, berarti menghina bapakmu! Juga menghina dirimu sendiri!
Kau dibesarkan dan di sekolahkan sampai lulus SMA dengan uang dapat ngebecak!”
“Saya
malu bapak jadi tukang becak!”
“Kunyuk!”
bentak bapakku menggelegar. Kulihat matanya melotot. Mukanya memerah marah! “Jadi
tukang becak lebih mulia dari pengangguran. Kau selalu ngomong tidak mau
menyinggung perasaan orang lain. Tapi kau selalu menyakiti hati bapakmu! Pergi
kau! Pergi!” usir bapakku dengan mendorong tubuhku hingga terjengkang keluar.
Dengan
kasar bapak menutup pintu dan menguncinya. Sumpah serapah dia lontarkan
untukku. Hingga air mata tak kuasa kubendung. Oala di saat aku bingung
menentukan sikap dalam hidup ini, Bapakku tak mau lagi kujadikan tempat
berlindung. Bapak mengusirku. Sudah begitu sakitkah hati bapak karena ulahku?
Ataukah karena bapak ingin bebas mengajak pelacur tua Nartem ke rumah? Oh,
apalagi orang lain, bapakku saja tidak mau mengerti jiwaku.
Aku
pergi dibakar matahari dengan hati mengucurkan darah dan badan basah keringat.
Aku terus melangkah. Walau tanpa tujuan. Hingga menjelang sore saat langit
berubah hitam. Petir ganas menyambar-nyambar. Sebatang pohon cemara tumbang
menghalang di jalan raya. Hujan turun deras sekali. Aku menggigil sepanjang
trotoar. Wajah bapak tiba-tiba membayang. Ah, tentunya dia sedang asyik dengan
Nartem. Dia sudah tidak bertanggungjawab dengan anak semata wayangnya ini. Aku
dibuang. Aku dendam padanya. Tekadku biar sengsara aku tidak akan pulang. Akan
kubanting diriku dihadapan Tuhan. Karena sudah kuketahui kasih sayang bapak hanya
sampai disini. Biarlah toh bapakku
miskin harta dan juga miskin kasih
sayang. Kini ingin kutahu sebatas apa kasih sayang Tuhan.
Sialan!
Di kota ini kalau hujan turun deras selalu saja mati lampu. Suasana jadi gelap
dan huh sepi sekali. Tak ada seorang pun yang keluar rumah. Aku menggigil di
emperan toko bersama gembel-gembel kota. Mereka asyik saja tidur seakan tidak
merasa dingin. Mungkin karena sudah biasa. Tapi kudengar suara rintihan dari
ujung sana. Kasihan tentunya gembel diujung sana sedang sakit. Aku mendekatinya.
Mungkin aku bisa menolongnya. Tapi tiba-tiba petir menggelegar lagi. Aku
terkejut dan menjadi sangat terkejut karena cahaya petir itu membuatku mampu
melihat gembel yang merintih-rintih itu. Setelah tahu, semestinya aku pergi.
Tapi aku malah mendekatinya. Aku ingin melihat lebih dekat lagi. Mungkin karena
aku masih muda dan sering memimpikan itu.
“Bajingan!”
maki sang lelaki seraya bangkit dan memukul wajahku. Aku terjengkang hingga
menindih seorang gembel. Gembel itu menjerit kaget dan marah-marah tidak
karuan. “Keroyoook!” perintahnya dengan suara mengguntur. Mendengar itu aku
ingin lari. Tapi gembel-gembel itu serentak bangun dan mengurung diriku.
Kemudian mereka menganiaya aku.
“Ampun,
ampun!” pintaku berulang-ulang. Tapi mereka tetap menganiaya diriku. Walaupun
berulangkali aku sudah minta ampun, oleh manusia-manusia gembel itu aku terus
disiksa. Oh aku selalu berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Tapi kenapa
bagini balasannya? “Ampun aduh ampun ampun…”
“Hia!”
Kudengar teriakan yang keji. Lalu kurasakan kepalaku dihantam benda keras.
Kepalaku mengucurkan darah dan sakit sekali. Kirik! Mereka malah tertawa
mendengar rintihanku. Oh rasanya badanku remuk. Terkapar bersimbah darah.
Hingga apa yang terjadi kemudian aku tidak tahu.
“Sampah!”
maki seseorang sambil menyiramkan air kecomberan ke tubuhku. Aku ingin bangkit
dan membalas makian orang itu. Tapi badanku serasa tak bertulang. “Bangun!” bentak
lelaki berseragam baju kuning itu. “Cepat bangun dan pergi dari sini!”
Aku
ingin mengatakan kepada tukang sapu itu, bahwa aku sakit. Tapi tukang sapu itu
keburu menarik tubuhku. Dia menceburkan tubuhku ke kecomberan. Oh, Tuhan kau
tidak menolongku. Engkau dimana Tuhan? Tidakkah engkau melihat penderitaanku?
Tuhan.
Dengan sisa-sisa tenagaku akhirnya aku dapat keluar dari dalam kecomberan itu.
Kini aku tertatih-tatih menuju rumahmu. Aku ingin mengadu padamu Tapi ternyata,
pak kuncen masjid itu mengusirku seperti mengusir anjing budug. Tuhan engkau
bisa mengetuk hati kuncen masjid itu agar mengizinkan aku mandi, berwudhu dan
menyembahmu. Tapi kenapa engkau tidak mengetuk pintu hatinya?
Hidupku
jadi mblangsak begini. Anak-anak kecil sering melempari aku dengann kerikil.
Bocah, aku bukan orang gila. Izinkan aku numpang mandi. Setelah mandi kalian
pasti kaget. Waktu sekolah aku dijuluki Arjuna. Oh mengapa hujan pun belum
turun lagi? Duh, Tuhan aku ingin mandi, makan, dan minum. Tunjukkan kemahaanmu
Tuhan! Tunjukan Tuhan!
Oala
entah sudah berapa hari aku menanti-nanti, tapi pertolongan Tuhan belum datang juga.
Aku protes! Tuhan tidak adil padaku! Percuma aku rajin shalat dan puasa.
Percuma aku baik pada orang lain.
Percuma
aku selalu menghindari perbuatan yang yang dilarang Tuhan. Percuma, cuih! Aku
meludah. Percuma! Janji-janji keadilanmu Membuatku muak. Biar kugiring srigala, macan, kalajengking
hingga iblis ke dalam hatiku. Biarlah dari waktu ke waktu aku asyik memelihara
mereka dalam suaka mergasatwa hatiku hingga gemuk-gemuk, liar dan buas!
Kini
aku menjadi pemain sandiwara yang hebat. Kepada semua orang aku bisa
beramah-tamah. Hahaha… kutipu mereka dengan kebaikan palsu lalu kujerat mereka
hingga sekarat. Rupanya hidup memang harus nakal, bejad, jahat, kejam, dan
licik! Lihat sekarang hidupku jadi mewah. Kemewahanku tinggi menjulang susah
diukur. Kujamin tujuh turunan tak akan habis. Hahaha…!
Hei
jangan kau kira aku sebodoh Edi Tanzil. Hanya aku saja yang tahu bahwa aku
penjahat yang bersekutu dengan iblis. Tak akan kuceritakan kepada siapapun
tekhnik kelicikanku dalam memangsa korban. Manusia itu comel. Bercerita kepada
istriku saja aku tak mau. Aku tak mau ambil risiko nama baikku hancur gara-gara
mulut istriku.
Bah!
Tapi ada satu hal yang tak bisa kupungkiri. Aku sering menyombongkan diri pada
Tuhan. Aku bisa menjadi kaya raya tanpa kuasanya. Tapi aku akui aku juga sering
takut padanya. Karena shalatku selama ini hanyalah ria.
Kalau
ingat Tuhan aku jadi gelisah. Kecongkakkanku tak bisa menghapus kegelisahanku.
Oala sepanjang hidupku selalu gelisah. Tapi aku tak akan mencabut dendamku
padanya. Tuhan tidak pernah mengabulkan permohonanku. Malah Tuhan semakin kejam
padaku. Sekarang anakku hilang. Istriku keyungyun
anak hingga sakit. Sedangkan aku, sebenarnya tidak merasa kehilangan Rigeulis.
Mulutku memang sering memuji kecerdasan dan kerajinan Rigeulis menunaikan
shalat dan mengaji. Tapi hatiku jengkel. Karena bila kudengar dia mengaji aku
ingat Tuhan dan gelisahku datang menyekap.
Rigeulis
belum genap tujuh tahun. Tapi dia sudah mengerti sopan santun, rajin membantu
pekerjaan ibunya dan welas asih pada sesama. Aku yakin kebaikkan anakku yang
cantik itu tulus lahir bathin. Semestinya
aku bangga memilikkinya. Tapi tidak. Karena setiap kali mataku beradu pandang
dengan matanya yang bening, kurasakan beribu jarum meluncur dari matanya
menghujam hatiku. Aku jadi canggung, benci, dengannya. Terkadang aku ingin
diam-diam meracuninya. Tapi rencana itu belum kulaksanakan juga. Mungkin karena
aku sibuk. Ataukah karena aku tidak tega?
Ternyata
Rigeulis mati sebelum kubunuh. Sebuah bus menabraknya. Tubuhnya rusak. Tapi
istriku meyakini bahwa mayat itu mayat Rigeulis. Pakaian, sepatu, dan tas
sekolahnya sama. Di ruang mayat itu istriku pingsan. Sedangkan aku berdiri
terpaku. Tiga hari yang lalu Rigeulis masih mengaji merobek-robek hatiku. Kini
dia sudah tiada. Oh aku merasakan ada sesuatu yang pergi dari diriku. Apakah
aku merasa lega?
Tuhan
bertahun-tahun aku mengeraskan hati untuk tidak menangis. Kini aku meneteskan
air mata untuknya. Anakku. Ternyata aku mencintainya. Oh Rigeulis anakku…
Penyesalan
memang selalu datang belakangan. Tapi percuma menyesal. Rigeulis sudah tiada.
Tuhan, dengan kematian Rigeulis aku sudah sangat menderita. Hentikan
kekejamanmu! Sembuhkan istriku! Aku tak mau kehilangan semua orang yang
kucintai. Sembuhkan istriku Tuhan…
“Pak ibu gawat!” kata pembantuku sambil
menggedor-gedor pintu kamarku.
“Tidak!”
bantahku seraya bangkit dari tempat tidur. Aku keyungyun Rigeulis. Dan kini istriku akan kau ambil juga Tuhan?
Tuhan berhantilah menghukumku! Aku memang salah. Aku manusia hitam. Manusia
yang tersesat. Tapi jangan pula kau hukum istriku. Dia tidak tahu aku nyupang, merampok, dan membunuh buat wadal. Sembuhkanlah dia Tuhan.
Tunjukkanlah kebesaranmu!
Aku
tidak tega melihat keadaan istriku. Dia terbaring dengan tubuh lemah tak
berdaya. Oh Tuhan, aku tahu obat-obat di meja itu tak akan dapat menyembuhkan
istriku tanpa izinmu. Sembuhkanlah istriku Tuhan.
“Mamah!
Papah!” tiba-tiba ada suara yang sangat kukenal. Aku tidak percaya. Padahal
Rigeulis sudah tiada. Tapi dari ambang pintu kamar kulihat Rigeulis berlari
mendekatiku. Aku menggosok-gosok mataku. Benarkah penglihatanku? “Mamah!
Papah!” kulihat kening Rigeulis berkerut.
“Aku pulang pah!”
“Rigeulis!”
panggil istriku seraya bangkit dan duduk di pembaringannya. Istri dan anakku
berpelukan. Aku tercengang pada apa yang kulihat dan kurasakan di hati. Betapa
selama ini cinta tertutup oleh kesombongan! Kemudian malu dan sesal mengisi
ruang hati.
Masuk
pula Mona adik istriku. “Hati-hati jadi orang kaya dan punya anak kecil.
Rigeulis bisa jadi Sandra untuk pemerasan yang kedua kalinya! Tapi
Alhamdulillah suamiku dan teman-temannya dapat meringkus kawanan penculik itu.
Kini anak telah kembali pada orang tuanya…”
“Dan
aku… aku kembali pada Tuhan…” kataku dalam hati. Tapi gemanya agung menyelusup
sejuk hingga ke urat nadi. Karena syukurku tak terperi.
*&*
Pabeanudik, 29 Maret 1995
No comments:
Post a Comment