Suasana
semakin panas dan keruh ketika Nurmawati menginap di rumahku. Melihat
mereka nekad menyerbu rumahku, aku mengelus dada. Kesal. Nurmawati
ketakutan. Dia memegangi tanganku sangat erat. Aku menolehkan kepala
melihat wajahnya. Wajahnya pucat. Matanya memandangku seperti mohon
perlindungan. Ketika aku akan membuka pintu, dia menarik tanganku.
Tapi aku harus membuka pintu, sebelum mereka mendobraknya. Ketika aku
telah berdiri di depan mereka, dengan serentak mereka diam. Tapi
tatapan mereka tetap memancarkan kebuasan.
“Dia
adik kandungku! Jadi dia berhak tinggal di rumah ini! Mengerti?”
kataku tegas.
“Jangan
membohongi kami! Aku tahu betul silsilah keluargamu! Usir perempuan
itu dari sini!” perintah salah seorang dari mereka kepadaku.
Sejenak
aku termenung. Haruskah aku mengusir Nurmawati dari sisiku? Sejenak
aku termenung. Haruskah aku mengusir Nurmawati dari sisiku? Sedangkan
sebelum dia datang, aku selalu merindukannya. Tapi bila Nurmawati
tetap di sini, pastilah mereka akan selalu berusaha membunuhnya. Oh
itu adalah sesuatu yang sangat menakutkan!
“Hei
dengar! Gadis ini benar-benar adikku! Adik kandungku!” kataku masih
berusaha meyakinkan mereka.
“Omong
kosong! Selama hidupnya, ayah dan ibumu tidak pernah kawin dengan
orang lain! Jadi dia bukan adikmu! Sekali lagi aku perintahkan, usir
perempuan itu!”
Kemudian
mereka menjeritkan kata-kata pengusiran yang pedas untuk Nurmawati.
Nurmawati semakin ketakutan dan menarikku untuk masuk ke dalam rumah.
“Mas
ayo kita masuk! Aku takut mas. Besok aku akan pulang. Aku takut!”
“Tenanglah
Nur!” pintaku penuh harap. Sekilas Nurmawati memandangku iba.
Karena mereka Nurmawati bersedih. Aku jadi semakin geram pada
perempuan-perempuan gila di hadapanku. “Hai kalian semua! Diam!”
bentakku menggelegar. Mereka diam. “Perlu kalian ketahui, kalau
kalian mengusirnya, itu berarti pula mengusirku! O itu sesuatu yang
sangat menyenangkan. Sebab aku akan jauh dari kalian yang selama ini
sangat memuakkan. Pikirkanlah itu baik-baik!” kataku mantap. Mereka
diam terpaku. Melihat itu hatiku sedikit lega. Gertakanku berhasil.
Pasti mereka sedang membayangkan betapa hampanya hidup tanpa aku di
sini. “Pulanglah kalian kalau tidak ingin kehilangan diriku!”
Mereka memandangku dengan tatapan mata yang sulit aku artikan.
Mungkin tatapan sayang. Tapi mungkin juga tatapan geram. Kemudian
kulihat mereka meninggalkan halaman rumahku.
Bulan
purnama di langit dan lampu-lampu teras membuat malam jadi terang.
Mestinya aku menikmati suasana malam ini dengan damai. Tapi yang
kurasakan malah kesuraman dan kekacauan. Ketika mereka telah pergi,
kubimbing Nurmawati memasuki rumah. Di ruang tamu kami duduk
berhadap-hadapan. Membisu dengan pikiran yang ruwet.
“Mengapa
mereka jadi seperti itu?” tanya Nurmawati menyudahi kebisuan.
“Mereka
tidak menghendaki kau mencintaiku.” jawabku tawar.
“Oh…
lalu?”
“Cinta
memerlukan pengorbanan.”
“Ya
cinta memang memerlukan pengorbanan.” kata Nurmawati bagai
bergumam. “Tapi tadi kau tidak jantan. Mengapa kau membohongi
mereka dengan mengatakan aku adalah adik kandungmu?”
“Sepintas
kupikir itulah cara yang paling mudah untuk melindungimu. Tapi
ternyata gagal. Untungnya aku cepat menemukan cara lain.”
“Mas
aku ke sini karena muak pada kemunafikan dan kekejaman di sana. Tapi
di sinipun…ah!” keluh Nurmawati sendu.
“Aku
turut merasakan dukamu. Dukamu adalah dukaku juga. Dukanya insan yang
mendambakan cinta dan ketentraman hidup. Sekarang ini zamannya sedang
amburadul.
Karena manusianya telah diperbudak setan. Ah entah kapan suasana
seperti ini akan berubah menjadi suasana yang nyaman. Nur, sebaiknya
kau istirahat dulu. Persoalan ini kita bicarakan besok saja. Bukankah
seharian penuh engkau telah menempuh perjalanan? Pasti engkau lelah.
Istirahatlah!”
“Aku
memang sangat lelah. Tapi dapatkah aku tidur bila baru saja mengalami
peristiwa yang menakutkan?”
Dia
memandangku sendu. Aku mengangguk mengiyakan agar dia tidur. Dengan
bahasa tatapan mata, kukatakan bahwa aku akan menjaganya. Lantas dia
menuju pembaringan. Engkau tak usah cemas sayang. Kataku dalam hati.
Perasaan
bersalah menggedor jiwaku. Ah! Seharusnya aku selalu berada di
samping Nurmawati kemanapun dia pergi. Keadaan sangat gawat. Mereka
tak pernah pandang bulu dalam menyingkirkan saingannya. Dan Nurmawati
terlalu lemah sebagai lawan mereka yang garang dan binal.
Mencari
Nurmawati aku terbayang akan kekejaman mereka. Perempuan-perempuan
itu mungkin kesurupan
jurig
sehingga lupa akan kodratnya sebagai wanita. Sebagai ibunya manusia.
Yang harus berkepribadian lembut dan penuh kasih sayang.
Perempuan-perempuan itu begitu haus akan harta, kekuasaan, dan
belaian lelaki muda yanggagah dan tampan! Untuk mendapatkan apa yang
di inginkan, mereka sampai mengadu kekuatan antara yang satu dengan
yang lainnya. Mungkinkah ini perkembangan emansipasi wanita yang
keblinger? Mulanya bekerja untuk membantu suami dalam mencari nafkah.
Tapi lama-kelamaan menginjak kepala suami dan menyiksa batinnya.
Sungguh menyedihkan lelaki yang mempunyai istri seperti mereka.
Kebahagiaan sirna dari hidupnya. Hingga tak heran bila badannya
menjadi kurus-kering, yang tak lama kemudian akan mati sengsara. Dan
yang mati ngenes
tidaklah terhitung. Tahu-tahu di bumi ini angka jumlah penduduk
dikuasai oleh wanita.
Aku
menyesali kaumku yang menjadi lemah tak berdaya. Tidak mampu bangkit
seperkasa dulu. Mungkinkah patah hati? Apakah salah kaumku hingga
hidup begitu sengsara? Apakah kesalahan kaumku adalah telah
memberikan kebebasan bagi kaum wanita? Hingga kaum wanita memenuhi
lapangan pekerjaan. Lelaki nganggur tidak punya uang. Orang tidak
punya uang tidak disayang, lalu ditendang.
Lelaki
gagah dan tampan akan menjadi rebutan mereka. Seperti diriku ini.
Mereka sudah tak punya malu lagi untuk berkelahi memperebutkan
diriku. Aku tidak bangga menjadi pemuda rebutan. Sebab aku tahu betul
mereka memperebutkan diriku hanya untuk memuaskan napsu mereka. Napsu
binatang. Aku jijik tapi aku tidak punya pilihan lain.
Bila
kutahu keributan mereka ada mengorbankan jiwa, betapa hati ini merasa
berdosa. Gara-gara diriku mereka mengadu jiwa. Kalau sudah begitu
ingin rasanya kusudahi hidupku agar tidak melihat mereka berkelahi
lagi. Namun selalu saja disaat seperti itu bayangan Nurmawati muncul
dengan kesejukan tutur katanya, ”Aku akan melahirkan anak-anak yang
shaleh. Anak yang akan menjadi pemimpin dunia. Pemimpin yang
bijaksana. Pemimpin yang mampu menertibkan kekisruhan ini. Anakku kan
anakmu juga mas?” Memang anak yang shaleh adalah mimpi dan
harapanku.
Aku
mencari Nurmawati sambil melamun. Lamunanku terputus ketika kudengar
jeritan yang menyayat hati. Segera aku berlari kearah datangnya
suara jeritan. Betullah kiranya apa yang aku duga. Nurmawati sedang
dikeroyok mereka. Oh…
“Berhenti!”
perintahku geram. Mereka belum berhenti juga. Malah semakin ganas
menyerang Nurmawati. Aku berusaha menerobos keroyokan itu untuk
menolong Nurmawati yang ada di tengah mereka dalam keadaan teraniaya.
Tapi susah.
“Hei!
Kalian kira dengan unjuk kekuatan begini aku akan jatuh hati pada
kalian!” teriakku penuh emosi. “Aku malah akan pergi dari sini!”
teriakku marah. Mereka malah menertawakan ucapanku. Salah satu dari
mereka malah berkata lantang, “Kau anak yang patuh pada orang tua!
Hahaha…!”
Hatiku
menjawab ya. Yah kalau bukan karena wasiat orang tua untuk membangun
tempat kelahiranku, tentunya aku sudah lama pergi dari sini. Aku
mendengar lagi rintihan Nurmawati. Sangat memilukan hati. Kulihat dia
terkapar merana. Pakaiannya koyak. Oh alangkah kejamnya
perempuan-perempuan ini. Aku harus membawa Nurmawati pulang dan
merawatnya dengan penuh kasih sayang. Tapi niatku itu terhalang.
Dengan geram aku melancarkan tendangan-tendangan dan pukulan.
Beberapa orang dari mereka kudengar menjerit kesakitan. Tapi
selanjutnya aku terkurung dalam perkelahian yang tidak seimbang.
Sejak kapankah mereka bersatu-padu seperti ini? Sebuah persatuan yang
merugikan diriku.
Lama
dikeroyok akhirnya aku terkapar di tanah yang terjal. Dalam ketidak
berdayaanku kukutuk mereka habis-habisan. Betapa tidak, mereka
mengumuli aku secara bergiliran. Sepertinya mereka begitu haus akan
diriku, yang tidak pernah menghiraukan persembahan napsu mereka. Tapi
yang membuat hatiku semakin hancur adalah ketika dia ikut-ikutan
menjadikan diriku sebagai pemuas napsu. Aku ingin menghindarinya. Aku
tidak ingin melakukannya. Tidaaaak!
Aku
terjaga dari mimpi yang sangat mengerikan. Mimpi tentang perkembangan
emansifasi wanita yang keblinger. Emansifasi yang membuat kengerian.
Berangsur-angsur kesadaranku pulih kembali. Berulangkali aku membaca
istighfar. Oh rupanya aku terlalu memikirkan Nurmawati yang terlambat
pulang hingga hal itu terbawa dalam tidurku dan menjadi mimpi buruk.
Tidak! Nurmawati tidak akan pernah menginjak diriku, apalagi
menjajahku. Seharusnya aku tidak membayangkan dirinya berlaku yang
tidak-tidak. Dia seorang istri dan ibu modern yang baik. Aku yakin.
Kemudian rasa cintaku mengajak diriku untuk pergi ke kamar anak-anak.
Pada anak-anakku yang tidur lelap aku berkata lirih, “Anak-anakku
maafkan ibumu bila terlambat pulang.” kubetulkan letak selimut
mereka. Lalu satu persatu kening kedua anakku kukecup cinta. Kemudian
kudengar bell berbunyi Nurmawati pulang. Bergegas aku ke pintu
depan. Kubuka pintunya, dan aku melihat Nurmawati. Dia memeluk
seorang pemuda belasan tahun yang gagah dan tampan. Aku dikenalkan
kepadanya sebagai pembantu yang malam ini harus berjaga-jaga di teras
rumah. Kenapa aku merasa tidak berdaya? Hingga kini tubuhku
kedinginan, Tapi hatiku terbakar.
*&*
Haurgeulis,
13 April 1989
No comments:
Post a Comment