Cerita Pendek
Untung Gautara
S
|
emalaman dia datang padaku
dalam mimpi. Dia menginginkan aku menghidupkannya kembali lewat cerpen.
“Orang-orang Cirebon mulai melupakan aku. Padahal kisah cintaku dengan
Suratminah tidak kalah tragis bila dibandingkan dengan kisah cintanya Rommy and
Jully.” katanya waktu itu dengan wajah muram. “Gau kapan ya kisah cintaku difilmkan atau didramakan?
Tapi sebelum semua itu terjadi maukah engkau menghidupkan aku dalam cerpenmu?”
Aduh alaaa menghiba betul tuh suaramu Din! Begitu saja kok sedih dan pilu,
gerutuku dalam hati!
“Mengapa engkau memilih aku? Mengapa
tidak memilih Nana Mulyana atau
Made Casta atau Subagyo Madhari atau pengarang belia berbakat Tanti R Skober?
Wah kamu kok kesel-kesel dari Cirebon
datang ke Haurgeulis?
Padahal di sana kan banyak penulis, iya kan?” tanyaku padanya.
“Mereka belum pada tidur, sedangkan
aku hanya bisa menemui mereka lewat mimpi. Lalu aku melayang-layang di angkasa.
Mataku tak lepas-lepas memandang ke bawah. Kemudian aku melihatmu sedang tidur
nyenyak. Maka…”
“Ya aku sudah tahu kelanjutannya,” kataku memotong
pembicaraannya.
“Iya iya iyaaa!” jawabku jengkel. Soalnya
sebelum tidur aku sangat mengharapkan dapat berjumpa dengan Mardiana, walaupun
hanya dalam mimpi. Soalnya aku penasaran banget ingin melihat kecantikannya.
Kata Kang Madhari sang penulis novel itu sih
amboi cantiknya. “Baridin! Malam ini aku tidak ingin bermimpi
bertemu kamu! Pergil kau!”
“Baiklah aku pergi. Selamat tidur,” ucapnya dengan senyuman
di wajahnya. Manis juga senyumanmu Din. Pujiku dalam hati. Kemudian kulihat
tubuhnya melayang-layang menembus langit-langit kamarku lalu hilang. Dia pergi
kok meninggalkan keheranan di hatiku? Itu lho, diusir kok dia tersenyum. Ya
Tuhan sampai hati betul aku mengusirnya. Untung saja dia tidak tersinggung.
Kalau tersinggung sorry ya Din!
Pagi harinya aku bukan lagi Untung Gautara, tapi
Baridin. Sebab aku sedang memenuhi keinginan Baridin yang ia katakana tadi
malam. Aku jadi Baridin cuma
sebentar kok. Ya sampai Cerpen yang aku tulis selesai.
Sebagai Baridin aku telah membunuh
Markonah dengan pedangku yang tumpul. Sungguh mati aku tidak sengaja
membunuhnya. Yang ingin kubunuh adalah seekor kucing garong yang telah menerkam
burung perkututku. Burung perkutut itu burung kesayanganku. Oleh karena itulah
aku marah besar pada si
belang. Dengan membawa
pedang pembabad rumput, aku mencari si
belang di kebon pisang
belakang rumah.
Cahaya bulan purnamalah yang
menemani aku mencari si kucing garong. Hampir selesai kebun pisang itu aku
jelajahi dengan teliti, aku berhenti mencari
dan menduga-duga kalau si belang
tidak bersembunyi di sini.
Itu mungkin juga terjadi. Jadi aku harus mencarinya di tempat yang lain. Tapi
tunggu itu ada semak-semak bergoyang-goyang. Pasti si belang ada di situ.
Bangsat! Kau harus mati! Lalu dengan kemarahan yang meluap aku berlari menuju
semak-semak itu dan mengayunkan pedang dengan keras berkali-kali. Aku baru
berhenti mengayunkan pedang ketika ada orang yang menubruk diriku hingga jatuh.
“Bangun kau!” bentak orang itu.
“Mengapa kau menubrukku?” tanyaku
marah.
“Kau telah membunuh Markonah!” jawab
orang itu pelan tapi menggeram ganas.
“Jangan ngaco! Aku hanya membunuh
kucing!” sangkalku tak kalah tegas. Tapi tidak kusangka orang tinggi besar
brewokan itu menarik tubuhku.
“Lihat itu!” perintahnya.
Aku melihat ada tubuh telanjang
bermandikan darah tergeletak di depanku. Setelah kuperhatikan wajahnya,
ternyata dia memang Markonah si perempuan lacur.
“Aku tidak membunuhnya!” kataku
mengambang.
“Lihatlah pedang di tanganmu itu
Baridin!”
Seketika lemas sekujur tubuhku.
Karena ternyata pedangku berlumuran darah. Kini aku yakin bahwa aku telah
membunuh Markonah.
“Meng, mengapa dia tidak menjerit ketika…?
“Dia sempat menjerit kesakitan satu kali,
lalu pingsan kemudian mati!” Jawabnya tegas.
“Kau kejam! Kau tidak mencegahku!” kataku
dengan perasaan tidak menentu.
“Kau yang membunuhnya bukan aku!
Jadi pantaskah aku disebut kejam? Kalau aku tidak segera mencegahmu, itu karena
aku sibuk berpakaian!”
“Oh aku tidak sengaja membunuhnya!”
Sesalku dalam.
“Omong kosong! Baridin, kau akan
kulaporkan ke polisi!”
“Jangan!”
“Ok, aku diam. Tapi dengan syarat
kau mau jadi temanku. Aku butuh teman untuk bersama-sama merampok!”
“Aku tidak mau!” tolakku tegas.
“Kau akan kulaporkan ke polisi! Kau
akan dipenjara bertahun-tahun!”
“Oh…” hatiku runtuh seperti daun
luruh. “Baridin, kau akan kulaporkan ke polisi!”
“Jangan!”
“Ok, aku diam. Tapi dengan syarat
kau mau jadi temanku. Aku butuh teman untuk bersama-sama merampok!”
“Aku tidak mau!” Tolakku tegas.
“Kau akan kulaporkan ke polisi! Kau
akan dipenjara bertahun-tahun!”
“Oh…”
“Tidak ada pilihan lain Baridin. Kau
harus ikut aku. Ayo!” ajak lelaki brewok itu seraya membalikkan badan dan
melangkah pergi.
“Tunggu dulu!” pintaku menghentikan
langkahnya. “Siapa kau? Aku tidak mengenalmu tapi kau mengenalku.”
“Siapa yang tidak mengenalmu
Baridin? Kegilaan Suratminah membuat namamu terkenal! Kamu memang jago kemat. Tentang aku? Nanti juga kau tahu.
Sekarang ayo kita pergi!” ajaknya memaksa.
Aku terpaku memandangi kepergiannya.
Di dalam hatiku ada keruwetan yang menjerat! Sekarang ini aku harus bagaimana?
Mengikuti dia berarti jadi perampok. Tidak ikut dia, berarti aku akan di
tangkap polisi dan di penjara. Oh tidak ada yang menyenangkan. Semuanya
sama-sama menakutkan!
“Ayo cepat!” bentaknya dari depan
sana.
Akupun melangkahkan kaki mengikuti
lelaki itu. Kupikir aku harus segera mengambil keputusan. Dan keputusanku yang
tergesa-gesa itu akan menjadikan aku seorang perampok. Yah apa dayaku saat ini?
Tidak ada pilihan yang menyenangkan. Kalau Mbok Wangsi tahu, pastilah dia
teramat kecewa. Tapi Mbok… aku tidak dapat membayangkanmu menangis melepaskan aku untuk
dipenjara. Semoga saja engkau dapat menutupi rasa kehilanganmu atas kepergianku
ini dengan ketabahan. Aku permisi Mbok.
“Hei! Kau tidak membawa pedang itu?”
tanya lelaki itu dengan mata terbelalak. Matanya lebar seperti matahari yang
kini mulai terasa panasnya.
“Untuk apa pedang tumpul
dibawa-bawa?” kataku balik bertanya.
“Goblok! Dengan adanya pedang itu
didekat tubuh Markonah, mereka akan tahu kaulah pembunuhnya!”
“Aku ambil pedang itu!”
“Goblok! Kau mau menyerahkan diri
dikeroyok massa hah?”
Duh Mbok anakmu malang. Saat ini
tentunya engkau sedang menangis menyesali perbuatanku. Aku tidak sengaja
membunuhnya Mbok. Sungguh. Semula dengan kepergianku ini aku berharap engkau tidak
akan tahu bahwa aku telah membunuh Markonah. Tapi kini oh maafkanlah anakmu.
Anakmu terpaksa harus pergi jauh meninggalkan dirimu dalam ketuaaan.
Membayangkan engkau menangis saja aku sedemikian trenyuh. Apalagi melihat
secara langsung. Aku memang harus pergi agar engkau tidak melihatku dipukuli
penduduk dan diborgol polisi.
Lelaki berewok yang membawaku pergi
itu kini telah kuketahui namanya. Namanya Segwan. Sekarang sudah hampir dua
tahun aku bekerja sama dengannya dalam bidang rampok-merampok. Belum pernah
sekalipun tertangkap polisi. Segwan sangat pandai mengatur siasat dan selalu
dapat mengambil keputusan yang tepat disaat bahaya.
Sebagai perampok yang tidak pernah
gagal tentu saja aku mempunyai banyak uang. Aku sempat bingung dengan uang yang
banyak itu. Lalu aku mengikuti jejak Segwan. Aku berikan uang itu kepada
wanita-wanita lacur yang menghiburku. Aku menghamburkan uang itu bersama
mereka. Lalu bahagiakah aku dengan kehidupan seperti itu? Tidak. Aku tidak
pernah merasakan ketentraman dan kedamaian. Hatiku selalu gelisah. Aku selalu
dikejar-kejar dosa. Mungkin kalau aku mencintai pekerjaan nista itu, aku dapat
bahagia. Tapi aku tidak pernah dapat mencintainya. Aku selalu ingat pesan si
Mbok agar aku menjadi orang baik-baik. Pesannya itu selalu terngiang di
telingaku. Aku merasa berdosa sekali tidak memenuhi pesan si Mbok. Tapi,
biarpun begitu aku belum juga bisa menolak ajakan Segwan untuk merampok.
Suatu saat aku dan Segwan merampok
rumah orang kaya. Ketika kami datang, ternyata kami hanya menemui seorang
pembantu yang sudah tua. Segwan membunuh wanita tua itu karena tidak mau
memberikan kunci-kunci lemari. Sejak saat itulah aku selalu bermenung diri. Aku
selalu terbayang saat-saat Segwan menghujamkan pisau belati ke dada perempuan
tua yang setua Mbok Wangsi. Betapa sedihnya nasib seperti itu. Duh Mbok… rasa
rindu yang selama ini terebendung kurasakan semakin bergelora. Sekarang aku
harus menemui si Mbok yang sangat mengasihi aku. Aku harus pergi tanpa minta
izin Segwan. Dia selalu melarangku pulang dan menakut-nakuti aku dengan segala
macam bahaya. Kini aku tak perduli dengan semua ancaman bahaya. Aku ingin
mencium kaki si Mbok dan memeluknya. Ingin kulabuhkan segenap duka lara di dada
ini. Mbok aku rindu. Sekarang ini mati pun aku mau asalkan telah melepas rindu
denganmu.
Aku tinggalkan Segwan yang sedang
tidur berpelukan dengan seorang pelacur. Matahari belum menampakan sinarnya.
Pagi masih buta. Udaranya dingin sekali. Segera aku kenakan jaket kulit hitam
ke tubuhku. Rasa dingin menjadi berkurang. Langkah kaki kuayunkan cepat-cepat
menuju terminal bus. Kuharap bus yang aku tumpangi nanti tidak mogok di jalan.
Aku ingin sampai di kampungku sebelum
malam datang menjelang.
Ternyata lalu lintas di jalan raya
macet karena ada perbaikan jembatan. Keinginanku agar bisa sampai di kampungku
sebelum malam datang musnah. Aku dan penumpang bus lainnya terpaksa tidur di
dalam bus. Esok paginya bus baru berjalan lagi.
Matahari sudah tidak begitu
menyengat kulit, ketika aku sampai di perbatasan kampungku. Aku berpapasan
dengan Suryana temanku samasa kecil. Kutanyakan kepadanya keadaan Mbok Wangsi.
Suryana tidak menjawab pertanyaanku. Tapi dia mengajakku ke sebuah tempat. Aku
bingung. Suryana mengajakku ke kuburan. Di depan makam yang masih baru, kami
berhenti. Tanpa bicara sepatah pun Suryana meninggalkan aku. Aku semakin
bingung. Kemudian aku mulai mengerti. Apalagi ketika mataku membaca tulisan di
patok nisan. Aku menjerit alang kepalang. Si Mbok telah meninggal dunia. Mbok
aku belum sedikitpun membalas kasih sayangmu. Aku menangis. Kupeluk makam si
Mbok dengan perasaan luluh lantak. Rasanya aku ingin menyusulnya kealam baka.
“Itu dia! Itu dia! Ayo serang! Ayo
pukul! Ayo bunuh! Bunuuuuh!” tiba-tiba kudengar teriakan-teriakan yang
mengerikan. “Dia pembunuh Markonah! Dia pemerkosa! Bunuh dia! Bunuh dia! Dia
harus mati!” teriakan-teriakan itu semakin menggila.
Aku tetap saja duduk di hadapan
makam Mbok Wangsi. Dengan ikhlas akan kuterima kemarahan mereka. Hidup pun
percuma. Orang yang ingin aku bahagiakan sudah tiada. Tentunya Mbok Wangsi
sangat merana sebelum kematiannya. Oh aku berdosa. Aku berdosa. Yah pukullah
aku dengan keras biar cepat mati. Yah begitu. Terus! Teruslah mengeroyokku
sampai…
Sampai Baridin berwajah setan datang.
Dia melayang-layang di langit-langit kamar. Aku lari tunggang langgang. Entah
sudah berapa kali aku menabrak pohon atau terjatuh dan bangun kembali. Suatu
ketika Baridin berhasil menangkap tangan kananku. Aku berusaha melepaskan diri
tapi Baridin seperti monster yang kuat sekali.
“Baridin apa maumu? Aku sudah
menghidupkanmu lewat cerpenku. Cerpen Baridin kemarin dimuat di koran. Kau
tidak tahu berterimakasih!”
“Hei suruh siapa kau jadikan aku
perampok? Aku minta kau menulis kisah cintaku dengan Suratminah!”
“Mana aku tahu! Ngomongmu tidak
jelas!”
“Hiaaaaaaa!”
“Aaaaaaaa!” kurasakan diriku semakin
lain dan menjadi benar-benar lain. Ternyata Baridin menitiskan diri pada
tubuhku.
*&*
Haurgeulis, 21 Oktober
1989
No comments:
Post a Comment