Cerita
Pendek: Untung Gautara
“Tidaaak!” jerit Aki sambil
meronta-ronta ketika seorang satpam dibantu dua orang dokter menangkapnya. “Aku
tidak mau di sini! Biarkan aku pergi!” Aki mengerahkan segenap tenaganya untuk
melepaskan diri. Tapi seorang dokter wanita segera datang dan tanpa basa-basi
lagi langsung menyuntikan obat bius ke tubuh Aki. “Aku tidak mau di sini!
Lepaskan! Aku bukan orang gila! Srikandi tolonglah aku! Aku tidak mau di sini…”
jeritan Aki semakin melemah. Hingga akhirnya dia terkulai lemas tak sadarkan
diri.
Aki dibawa ke ruangan khusus. Aki
dibaringkan sendirian ditemani dinding-dinding yang membisu. Sedangkan di
koridor. dokter wanita tadi masih berdiri mematung.
Malampun turun ke bumi tanpa
rembulan atau gumintang. Gelap seakan sempurna. Karena listrik mati sejak jam
lima sore tadi. Genset yang
dipersiapkan untuk persiapan pengganti bila listrik mati, mendadak ngadat dan sedang diperbaiki para
tekhnisi. Dengan penerangan sebatang lilin dokter wanita itu menjenguk Aki. Dia
mendesah demi melihat dari kedua kelopak mata Aki yang terpejam merembes air
mata. Entah karena apa dokter wanita itu pun meneteskan air mata. Sementara
angin berdesauan di atas wuwungan rumah sakit. Sehelai daun akasia terlepas
dari rantingnya melayang-layang dipermainkan angin dan jatuh di ambang pintu
ruangan itu.
Sementara itu, di sebuah gubug di
tepi Hutan Haurgeulis, seorang wanita tua tertidur dengan bibir tersenyum. Tapi
ketika petir menggelegar dia terbangun. Angin dingin berhembus kencang lewat
jendela yang belum ditutup. Wanita tua itu tak perduli. Dia tercenung. Lalu
dari getaran bibirnya sayup-sayup terdengar sebuah kata; Bupati. Dengan berurai
air mata dia segera turun dari bale bambu itu. Dia mempersiapkan bekal. Dengan
hati sedih juga penuh harapan ditinggalkannya gubug tempatnya bernaung selama
ini. Ditemani obor yang nyalanya melambai-lambai ditiup angin, dia meniti
harapan di tengah malam. Baru kali ini dia akan berpergian jauh setelah
bertahun-tahun setia dalam penantian. Sementara hujan pun turun seperti air
matanya.
“Aku memang sudah renta. Tetapi kesetiaanku yang
bertahun-tahun itu tidak boleh sia-sia. Selain itu aku ingin melapangkan dada
dengan bicara. Tetesan air hujan bukanlah rintangan bagiku.” Tekad batin Nini, seraya mempercepat langkahnya. Padahal obor
telah lama mati ditiup angin. Tapi Nini hapal benar jalan setapak di tepi hutan
menuju ke perkampungan itu.
Dulu aku sinden tarling. Nini teringat masa
silamnya. Kata orang suaraku merdu merayu. Kata orang wajahku sangat cantik.
Kata orang tubuhku indah semampai. Juga kata orang aku cerdik. Tapi kata ibuku aku bodoh. Karena
aku menolak dijadikan gundik oleh seorang atasan tentara Jepang yang
menjanjikan emas berlian. Juga karena aku memilih cape jadi sinden tarling
sekaligus mata-mata tentara tanah airku.
Seorang dari banyak komandan yang sering aku bantu,
kuketahui memiliki perasaan khusus padaku. Dia sering berkata bahwa tanpa
keahlianku sebagai mata-mata, ratusan tentara juga penduduk sudah tak bernyawa.
Dia menjuluki diriku Srikandi. Dan biar dia senang, aku memanggilnya Kang
Arjuna. Aku senang bisa membuatnya senang. Aku senang melihat senyumnya yang
menggoda. Dia memang sangat tampan, setampan Arjuna. Oh kami saling tertarik.
Saling jatuh cinta. Aku memutuskan untuk rela diperistri olehnya walaupun harus
menelan pil pahit; diusir oleh ibuku yang gila harta.
Tapi hanya seminggu kami bersama. Perjuangan membela
tanah air mengharuskan kami berpisah. Kang Arjuna harus memimpin pasukannya
untuk mempertahankan suatu daerah dari cengkraman tentara Jepang. Aku sendiri
dipercaya untuk ikut mengamen di kota. Tentu saja dengan tugas utama sebagai
mata-mata. Mungkin karena aku bisa nembang dan wajahku cantik.
Mungkin juga karena kecerdikanku maka aku berhasil
menjadi mata-mata tanpa dicurigai tentara Jepang. Tanpa harus mengorbankan
harga diriku sebagai seorang wanita. Hal itu membuatku sadar bahwa seorang
wanitapun bisa lebih berarti dari sekompi tentara. Benar kata almarhum ayah.
Dengan kelemahan fisikku sebagai wanita aku masih mampu menjadi pedang yang
berbahaya bagi musuh. Menyadari hal itu aku jadi semakin berani dan bersemangat
untuk membela tanah air dengan segenap kemampuanku. Akibatnya serbuan tentara
Jepang selalu dapat dipatahkan atau paling tidak dihindari. Karena aku telah
pontang-panting memberitahukan rencana tentara jepang pada tentara tanah air.
Kemenangan demi kemenangan membuatku semakin bersemangat berjuang. Puncak
kemenanganku adalah ketika antara atasan dengan wakilnya saling membunuh karena
memperebutkan diriku. Tentara Jepang jadi tidak punya kepala. Bayangkan apa
gunanya beribu prajurit Jepang tanpa pemimpin!
Lewat perjuangan yang gigih para pejuang dan rakyat,
akhirnya kemerdekaan dapat diraih. Dengan senang hati aku kembali ke kampung
yang telah kujanjikan dengan kang Arjuna. Di kampung itu, kami akan hidup rukun
dan bahagia. Tapi sungguh tidak aku sangka. Orang-orang sekampung menyambut
kedatanganku dengan sumpah serapah dan lemparan batu. Aku dikatakan mereka
sebagai penghianat bangsa. Oh Tuhan aku disiksa oleh orang-orang yang aku bela
mati-matian. Kalau aku selalu dapat menyelamatkan diri dari kekerasan tentara
Jepang, kini aku tak mampu menyelamatkan
diri dari kesewenang-wenangan bangsaku.
Aku dikeroyok. Aku dihimpit. Oleh bangsaku sendiri kehormatanku dicabik-cabik.
Setelah mereka puas menyiksa, aku dilemparkan kerumah ibuku yang gila harta.
Walaupun aku darah dagingnya, penderitaanku tak membuatnya iba. Malah ketika
tubuhku sedikit segar, dengan kejamnya dia menjualku. Aku direndahkannya dari
seorang lelaki ke lelaki lain. Ibu kira aku sudah biasa melakukan perbuatan
hina itu. Kang Arjunalah yang tau benar aku masih perawan suci di malam
pertama. Walaupun aku adalah seorang sinden tarling yang juga malang-melintang
sebagai mata-mata. Seringnya aku bergaul dengan orang-orang Jepang bukan berarti
aku pelacur. Tapi karena aku mata-mata.
Maafkan aku Tuhan. Ternyata aku tidak cukup tabah
kalau dijajah seperti itu. Aku pun sangat malu pada kang Arjuna. Akhirnya
seorang pejuang bangsa memutuskan untuk bunuh diri dengan cara terjun ke
sungai. Tak bisa kutanggung keironisan seorang pejuang yang terpuruk menjadi
pelacur. Kalau aku mati pasti terbebas dari penderitaan yang hina dina ini.
Tapi aku tidak mati. Ada orang yang menolongku. Rupanya aku harus terus
mengalami getirnya dijajah bangsa sendiri. Perasaanku hancur. Pikiranku gelap.
Ternyata kemerdekaan bangsa malah membuatku tidak bebas. Aku masih harus
sembunyi atau menyamar agar tidak diketahui tukang pukul ibuku yang jadi
mucikari itu. Di tepi hutan Haurgeulis aku membuat gubuk. Karena di hutan
itulah kang Arjuna pernah bergerilya dan untuk pertama kalinya bertemu
denganku. Aku selalu berharap dia akan datang ke sini. Aku yang kotor ini ingin
mohon maaf. Perasaan Nini trenyuh. Masa silamnya terasa getir sekali.
“Mbok mau kemana?” tanya seorang kenek ketika Nini
sampai di terminal Haur geulis.
“In… Indramayu nang!” balas Nini.
“Cepat naik mobil ini saja! Sebentar lagi berangkat!
Cepat!” pinta kenek dengan mendorong tubuh Nini masuk kedalam mobil yang sudah
penuh penumpang. Nini berdiri terbungkuk sendirian diantara orang-orang yang
duduk. Tak lama kemudian mobilpun melaju. “Mbok Wangsi mau menengok cucu?” tanya
kenek sambil menengadahkan tangan kanannya.
“Mau kerumah pak Bupati.” jawab Nini singkat seraya
memberikan uang recehan seraya penjualan daun jati yang didapatnya dari hutan.
Si kenek memperhatikan Nini dari ujung rambut sampai
ke ujung kaki dengan perasaan heran. Dia pun kemudian mencibir. “Mbok Wangsi
jelek, ompong, peot, dan dekil jangan suka ngimpi!”
“Pak Bupati orangnya baik nang…” kening si kenek
berkerut. Semakin berkerut ketika menghitung uang.
“Kurang mbok Wangsi!” protesnya ketus. “Turun!”
“Turun?”
Nini melongo. Mobil berhenti. Dengan air mata yang
tak tertahankan Nini terpaksa turun. Mobil kembali melaju. Hati Nini terasa tergilas.
Sejenak dia diam lalu melangkah lagi. Wanita tua yang selalu dirundung nestafa
itu mencoba nembang dalam hati untuk menghibur hatinya. Begitulah yang dia
lakukan selama ini bila merasakan hatinya sangat sedih. Tapi tembang
klasiknyapun tembang nelangsa…
“Duh pak Bupati… nelangsa temen nasib kula. Urip ning dunia sumampir sebatang kara. Langka sanak
gegenduneng rasa. Langka kadang gandulaneng jiwa. Mmmm…”
Aki terjaga. Wanita yang tak pernah sedikitpun dia
lupakan hadir kembali dalam mimpinya. Aki tercenung. Aki menyesal mengapa dia
terbakar fitnah bahwa wanita yang sangat dikasihinya menjadi pelacur. Mesti aki
menemui wanita korban fitnah itu dan berbicara dengan kepala dingin. Bila waktu
itu mau menemuinya, tentu Aki dapat menolong wanita itu dan dia tak akan
tersiksa oleh perasaan dosa seperti sekarang. Aki menangis terisak-isak.
Dari ambang pintu, dokter wanita ahli jiwa itu
memandangi Aki tiada berkedip. Hatinya merasa iba. Dia mengerti bahwa Aki
sangat tersiksa batinnya. Dokter wanita itu menarik nafas berat. Ingin rasanya
menolong Aki. Ingin rasanya memberikan keterangan palsu bahwa Aki benar-benar
gila. Agar Aki tidak dipenjara. Tapi dia sudah disumpah untuk selalu jujur.
“Pak polisi.” ketika polisi datang, dokter wanita
itu pun harus memberikan keterangan. “Dia…tidak gila. Kalau dia sering
menjerit-jerit, itu karena dia ingin melegakan dadanya yang dihimpit banyak masalah.
Dia lelaki yang kalah.” akhirnya dia memenangkan kejujuran. Walaupun terasa
sangat pahit sekali. Aki mirip sekali
dengan almarhum ayahnya. “Oh Aki hanya orang yang sangat menderita yang ketika
tidur pun meneteskan air mata. Aki…” dia membatin. “Aki …” Lirih dia memanggil
lelaki tua yang kedua tangannya telah diborgol dan digelandang polisi. “Aki…” dia
terduduk lesu. “Kalau kau tidak dikalungi untaian bunga oleh negeri ini, aku
tahu kaupun tak berharap. Tapi aku akan berusaha membawakanmu seseorang yang
paling kau harap. Srikandi! Wanita yang selalu kau panggil dalam igauanmu.”
Kemudian dokter wanita itu bangkit. Walaupun dia tak tahu harus ke mana mencari
Srikandi, dia tetap melangkahkan kaki dengan kekerasan hati.
Aki dimasukkan ke dalam penjara. Seorang narapidana
yang sudah tujuh belas tahun mendekam di situ menyambutnya dengan Tanya. “Kau
dipenjara sekarang. Apa yang telah kau lakukan pada negeri ini?” Aki memandang
narapidana itu dengan tatapan kuyu. Ada terbetik dia ingin menjawab. Tapi
kemudian dia membatalkannya. Tak ada gunanya. Walaupun begitu, dia tetap
menjadi ingat apa-apa yang telah dia lakukan. Sejak umur sebelas tahun hingga
berumur dua puluh enam tahun, hidupnya untuk berjuang membela Ibu Pertiwi.
Kedua kakinya pernah tertembak. Daun telinga kanannya sobek juga karena tertembak.
Jiwa dan raga dia pertaruhkan untuk kemerdekaan negeri ini. Tapi barangkali itu
ada artinya. Apalagi setelah negeri ini merdeka, dia tidak lagi dibakar
semangat api perjuangan. Tapi dibakar api cemburu buta. Karena hasutan,
hidupnya jadi tak tentu arah. Dilema cinta membuatnya patah semangat. Rapuh.
Hanya karena wanita saja jatuh. Padahal teman-teman seperjuangannya saling
berlomba untuk mendapatkan kursi jabatan yang empuk sekaligus basah. Dia
ditinggalkan teman-temannya. Tak lama kemudian dia dilupakan.
Yang sangat memalukan adalah keterdamparannya di
tempat pelacuran. Di tempat itu dia digendak atau dijadikan sebagai gigolo oleh
seorang kupu-kupu malam yang cantik jelita. Tapi ketika dia diserang penyakit
kotor, dengan jijik perempuan itu mendepaknya. Dia dicampakkan perempuan dalam
keadaan menderita. Tapi karena ketampanannya segera hadir lagi seorang wanita
dalam kehidupannya. Janda itu, mau menerimanya, mengobatinya, mencintainya,
mengawininya, dan mencarikannya kedudukan yang empuk. Dia dimanja-manja. Tapi
lama-kelamaan kemesraan itu pun berubah. Begitu pandainya wanita itu mengikat,
meruntuhkan, hingga menguasai dirinya. Wanita yang baik dan cantik bagaikan
Dewi Sumbadra, kini tabiatnya berubah seperti Dewi Durga. Arjuna tak berkutik
dikendalikan Dewi Durga. Dia layaknya robot berbentuk manusia. Karena segudang
hutang budi dan tiga orang anak membuat Arjuna mampu bertahan untuk selalu
mengalah walaupun batinnya tersiksa.
Hingga pada suatu hari sebelum polisi datang
menangkapnya dia merasa sangat gelisah. Karena tidak ada korban untuk di-caplok. Padahal jam dinding sudah
menunjukkan pukul sepuluh tepat. Akibatnya sepuluh kali bunyi burung jam itu
seakan-akan memukul-mukul nafsu raksasanya. Dia mendengus kecewa sekaligus
geram hingga dipukulnya meja. Dia meringis kesakitan. Ah! Dia merasa terkotak
hingga sakit otak. Sementara dari ruangan anak buahnya terdengar peletak-peletuk anak catur menyodok
kerobotan pagawai.
“Wuaaa!” masih terasa menikam jantung jeritan Dewi
Durga yang protes atas skandal kadalnya dengan beberapa perempuan nyrenges.
Arjuna melakukan semua itu sebagai protes pada perbuatan Dewi Durga yang seenak
udel sendiri. Di samping itu biar sudah tua dia tetap buaya! Tapi dia ketakutan
setengah mampus bila diprotes Dewi Durga yang punya kuasa dan the killer. Lain lagi bila mendengarkan
protes orang kecil yang selalu ditenggak darahnya, diperas keringatnya, dan
diambil sumsumnya dia tak punya telinga. Apalagi hati. Baginya tubuh-tubuh
kurus dengan dengan tatapan mata kuyu itu adalah sampah busuk. Di mana raksasa
cuma berpikir untuk mencarikan pelimbahan yang tepat untuk mereka. Kalaupun
terdengar lagu-lagu merdu mereka, itu hanyalah angin yang berhembus.
Tak ada transaksi tanda tangan. Tak ada yang
menangis minta katebelece. Dagangan
tidak laku. Pasar sepi. Mungkin harga terlalu tinggi. Ataukah dukun-dukun sudah
tak manjur? Dinding putih membisukan kesaksian kejahatan. Langit-langit putih
juga membisukan dendam. Buku-buku arsip penyulapan meredam rintihan teraniaya.
Hanya kain gorden yang bergerak dihembus angin. Bedebah! Padahal Dewi Durga
menuntut banyak uang untuk membayar laki-laki muda kekasihnya. Kalau tidak, dia
akan mengamuk. Oh Arjuna lelaki macam apa kamu? Lelaki yang merintih-rintih
dijajah tapi kemudian merasa nikmat dijajah! Inilah bedebah!
Pintu diketuk. Tiga orang polisi menangkap Arjuna.
Menangkap Pejuang yang menjadi koruptor. Menjadi penjahat ekonomi yang tega
melindas orang kecil demi lapangan golf, hotel, supermarket, perumahan mewah,
dan tetek bengek. Dia pejuang yang tak mempunyai keteguhan iman akhirnya tidak
pernah meraih kemerdekaan. Karena dia akan tetap dijajah nafsunya.
Aki menangis terisak-isak. Menyesal tak pernah
menuruti kata-kata Srikandi yang menjadi hati nuraninya selama ini. Oh Arjuna
engkau tak lagi menjadi bos yang dipuji-puji, tapi Aki yang tak berarti.
Akhirnya Nini sampai juga di pintu gerbang rumah pak
Bupati. Walaupun hatinya senang sampai ditujuan, tapi fisiknya sudah tak lagi
memungkinkan. Di tengah malam yang dingin itu Nini jatuh pingsan. Manakala
satpam datang, dikiranya wanita tua itu pengemis atau orang gila yang tertidur.
Satpam itu menyeret Nini hingga ke dekat tempat sampah.
“Mengapa aku tergeletak seperti kucing budug di sini?”
tanya Nini di dalam hati setelah beberapa saat siuman. “Oh…” Nini merasakan
badannya sakit sekali. Biar begitu dia memaksakan diri untuk berdiri. “Aku akan
manjadi tamu bapak Bupati. Dalam mimpi, beliau akan percaya dan yakin bahwa
walaupun aku wanita, aku pernah ikut berjuang. Beliau akan percaya kalau aku
pernah tunggang-langgang berpacu dengan waktu untuk memberitahu tentara tanah
air juga penduduk agar segera mengungsi. Karena besok paginya Jepang akan
menyerang kampung dengan bom. Aku butuh teman bicara yang tidak mencibir. Rindu
teman yang dapat menghibur dan membesarkan hatiku. Hanya bapak Bupati
harapanku. Dalam mimpiku beliau hadir sangat penyayang. Oh bapak Bupati selama
ini aku diam. Selama ini aku setia. Selama ini aku tersia-sia…
Pintu gerbang dibuka. Suaranya mengagetkan Nini yang
tidak jauh dari situ. Dada Nini berdebar-debar. Telapak kakinya yang melepuh
dilangkahkan lagi. Tapi tiba-tiba ada rasa minder di hati Nini. Nini pesimis.
“Tadi aku tergeletak seperti kucing budug. Pejuang
tidak ada harganya. Kastaku rendah. Aku tidak pantas. Oh Tuhan mestikah pejuang
menceritakan perjuangnya? Mestikah? Oh Tuhan aku khawatir beliau mengira aku
minta santunan, pujian dan perhatian.
Aku tidak minta apa-apa atas perjuanganku dahulu. Aku cuma ingin bicara tentang
perjuangan zaman dahulu agar hatiku lega. Selain itu aku berharap bapak Bupati tau kang Arjuna. Firasatku mengatakan kang
Arjuna sedang menderita. Aku ingin menolongnya. Tapi kodrat wanita adalah
menunggu. Begitukah? Oh kang Arjuna, aku selalu menunggumu. Aku akan tetap
hidup sampai kau menemuiku. Pak Bupati tahukah engkau di mana kang Arjuna? Kau
adalah putra sahabatnya. Kau pasti tahu. Oh…” Nini mengeluh. Dia melihat mobil
keluar dari rumah itu. Nini yakin itu mobil bapak Bupati. Nini mengejar mobil itu dengan sekuat tenaga.
Suatu ketika dia terjatuh. Tapi sesaat kemudian Nini kembali mengejar. Nini merasa
mendapatkan mukzizat tambahan tenaga. Dia merasa langkahnya ringan dan badannya
terasa segar. Dengan kekuatan seperti ini Nini yakin akan mampu menemukan kang
Arjuna sang pujaan hati. Nini tersenyum melayang-layang.
*&*
Haurgeulis, 21 Juni 1994
No comments:
Post a Comment